Arsip untuk Maret, 2015

Pada Tahun 1978 Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk meratakan hasil-hasil pembangunan sebagaimana digariskan oleh Pelita III, perhatian orang akan masalah pencemaran Lingkungan Hidup semakin mengingkat. Pemerintah dan masyarakat mencoba mencari modus pemecahan sebagai cara untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan pada saat itu. Berkaitan dengan hal tersebut ketentuan MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara memberikan pedoman sebagai berikut:

Dalam pelaksanaan pembangunan perlu selalu diadakan penilaian yang seksama terhadap pengaruhnya bagi lingkungan hidup, agar pengamanan terhadap pelaksanaan pembangunan dan lingkungan hidupnya dapat dilakukan baik secara sektoral maupun regional dan untuk itu perlu dikembangkan criteria mutu baku lingkungan.[1]

Atas dasar pedoman-pedoman yang digariskan oleh GBHN tahun 1978 tersebut, pemerintah mencoba mengusahakan untuk mengembangkan suatu kebijaksanaan nasional di bidang pengembangan lingkungan hidup di Indonesia. Kemudian setelah melalui suatu proses yang panjang menjelang berakhirnya Pelita III pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Produk Hukum ini dinilai sebagai produk hukum yang cukup monumental untuk memberikan referensi khusus terhadap pentingnya persoalan-persoalan lingkungan hidup baik dalam konteks nasional maupun global.

Pada rezim Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup lebih mengedepankan dan mengandalkan sanksi administratif dibanding sanksi perdata dan pidana sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persolan lingkungan pada saat itu. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan pidana diatur pada Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3).

      Berkaitan dengan ketentuan pidana pada Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) tersebut, Siti Sundari Rangkuti dalam penelitiannya memberikan kesimpulan-kesimpulan, antara lain sebagai berikut:[2]

  1. Sanksi pidana bukan merupakan pemecahan utama dalam menanggulangi masalah pencemaran lingkungan, tapi hanya merupakan “ultimum remedium”;
  2. Badan hukum keperdataan dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara pencemaran lingkungan melalui pengurusnya;
  3. Perumusan delik lingkungan perlu ditetapkan untuk memudahkan penyelesaian perkara dipengadilan;
  4. Ketentuan pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Lingkungan Hidup.

 [1] Lihat Tap MPR RI No. IV/MPR/1978 Tentang Ekonomi butir 13 c

[2] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983), Hlm.300.

Hukum Lingkungan dalam pengertian yang paling sederhana adalah hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup).[1] Istilah hukum lingkungan adalah merupakan konsepsi yang masih baru dalam ilmu hukum, ia tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup ini maka tumbuh pula perhatian hukum kepadanya, sehingga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya cabang hukum yang disebut hukum lingkungan.

Di kalangan para ilmuan masih terdapat beberapa perbedaan pandangan seperti tentang apa dan bagaimana hukum lingkungan itu. Drupsteen mengemukakan, bahwa hukum lingkungan (millieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan alam (natuurlijk millieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian maka hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan terutama dilakukan oleh Pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum Pemerintahan (bestuursrecht). Di samping hukum lingkungan Pemerintahan (bestuursrechttelijk millieurecht) terdapat pula hukum lingkungan keperdataan (privaat rechttelijk millieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan (staatrechttelijk millieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (strafrechttelijk millieurecht), sepanjang bidang-bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan pengelolaan lingkungan hidup.[2]

Drupsteen membagi hukum lingkungan pemerintahan dalam beberapa bidang yaitu :

  • Hukum kesehatan lingkungan (millieuhygienereht) yaitu hukum yang berhubungan dengan kebijaksanaan di bidang kesehatan lingkungan, dengan pemeliharaan kondisi air tanah dan udara serta yang berhubungan dengan latar belakang perbuatan manusia yang diserasikan dengan lingkungan.
  • Hukum perlindungan lingkungan (millieubescharmingsrecht) yang merupakan kumpulan dari berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan lingkungan biotis dan sampai batas tertentu juga dengan lingkungan anthropogen.

Leene menggunakan istilah “millieurecht” dan “millieuhygienerecht”, tetapi istilah “millieurecht” sebenarnya kurang tepat karena semua hukum berkaitan dengan lingkungan hidup manusia, seluruh kehidupan bermasyarakat merupakan lingkungan bagi manusia. Sehingga kalau demikian semua hukum adalah hukum lingkungan. Tetapi ada pula yang tidak dapat menyetujui ditetapkannya “millieurecht” atau “millieuhygenerecht” menjelma menjadi suatu spesialisasi sendiri seperti pendapat Polak. Menurut pendapatnya hukum lingkungan merupakan penampung (dwarsdoorsnede) dari bidang-bidang hukum. Dengan dipisahkannya hukum lingkungan akan mengakibatkan bahwa kesadaran lingkungan akan kurang meresap disiplin-disiplin yang ada. Dengan adanya hukum lingkungan yang terpisah akan mengakibatkan bahwa dasar-dasar umum dan penemuan-penemuan di bidang hukum tidak akan memperoleh perhatian dari kalangan hukum lingkungan. Walaupun demikian diakui oleh Polak bahwa mempelajari hukum lingkungan sebagai suatu kesatuan adalah bermanfaat karena memberi kemungkinan untuk membedah beberapa kaidah hukum untuk menilainya secara kritis.

Koesnadi Hardjasoemantri, menyatakan bahwa hukum lingkungan Indonesia dapat meliputi aspek-aspek sebagai berikut :

  • Hukum kesehatan lingkungan;
  • Hukum perlindungan lingkungan;
  • Hukum tata lingkungan;
  • Hukum pencemaran lingkungan (dalam kaitannya dengan misalnya pencemaran oleh industri dan sebagainya).
  • Hukum lingkungan trasnasional/internasional dalam kaitannya dengan hubungan antar bangsa.
  • Hukum perselisihan lingkungan (dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah ganti rugi dan sebagainya).[3]

Mengapa hukum diperlukan dalam pengelolaan lingkungan, karena dahulu terdapat anggapan bahwa pengertian dan perhatian manusia terhadap alam sebagai tempat hidupnya hanya semata-mata dijadikan sebagai obyek saja. Manusia belum begitu sadar dan dapat membayangkan bahwa antara alam tempatnya hidup dengan manusia adalah mempunyai kedudukan yang sama. Dalam pengertian bahwa dalam alam, fungsi manusia dan fungsi “tempat hidup” itu sama pentingnya karena saling isi-mengisi dan saling pengaruh dan mempengaruhi. Atas dasar kenyataan alam tersebut, maka perlu manusia juga senantiasa melindungi dan memelihara “tempat hidupnya” secara seksama, seperti halnya manusia melindungi dan memelihara dirinya sendiri.

Manusia dalam hidupnya harus melindungi dan mengamankan “alam” agar dapat terselenggara secara teratur dan pasti, pula agar dapat diikuti serta ditaati semua pihak, maka perlu perlindungan dan pengamanan itu dituangkan dalam peraturan hukum. Maka akan lahir hukum yang memperhatikan kepentingan alam atau hukum yang berorientasi kepada kepentingan alam (natures interest oriented law). Kepentingan alam, yang perlu dilindungi dan diamankan oleh hukum itu, berupa apa? Kepentingan itu berupa “keharusan untuk melindungi dan mengamankan alam terhadap kemerosotan mutunya dan kerusakan dirinya”. Dengan lain perkataan, kepentingan alam terletak dalam “keharusan untuk menjaga kelestariannya”.

Agar perlindungan dan pengamanan lingkungan dapat berlangsung secara teratur dan pasti serta agar diikuti oleh semua pihak, maka perlu dituangkan dalam peraturan hukum. Dan lahir jenis hukum yang secara khusus dituangkan dengan maksud dan tujuan terpokok untuk memelihara dan melindungi lingkungan disebut Hukum Lingkungan.

Hukum Lingkungan yang ditetapkan oleh suatu negara disebut Hukum Lingkungan Nasional. Adapun Hukum Lingkungan yang ditetapkan persekutuan hukum bangsa-bangsa, disebut Hukum Lingkungan Internasional. Hukum Lingkungan yang mengatur suatu masalah lingkungan yang melintasi batas negara (masalah lingkungan batas-batas masalah lingkungan transnasional) disebut Hukum Lingkungan Transnasional. Masalah-masalah lingkungan transnasional itu terdapat banyak sekali di daerah-daerah perbatasan beberapa negara bersangkutan berdasarkan persetujuan atau mufakat. Demikianlah Hukum Lingkungan Transnasional itu merupakan salah satu bagian belaka daripada Hukum Lingkungan Internasional dengan segala ciri-ciri dan cacatnya, sekalipun biasanya cara-cara menetapkan dan memperlakukannya tidak serumit dunia secara global.

Sejak Deklarasi Stockholm tahun 1972 telah digariskan hubungan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pembangunan tanpa merusak lingkungan, yang selanjutnya dikenal dengan kebijakan “Pembangunan berwawasan Lingkungan” (“Eco-development”) sebagaimana ditegaskan dalam prinsip ke-13 Deklarasi Stocholm:

In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, states should adopt an itegrated and co-ordinated aproach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for the the benefit of their population.[4] (Guna mencapai pengelolaan sumber daya alam yang lebih rasional dan untuk memperbaiki lingkungan, negara harus melakukan pendekatan integral dan kordinatif dengan perencanaan pembangunan negara yang bersangkutan sehingga menjamin pembangunan negara yang bersangkutan sehingga menjamin pembangunan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk keuntungan penduduk mereka sendiri)

 Dalam Deklarasi Rio dirumuskan pula keterkaitan pembangunan dengan lingkungan sebagaimana tertuang dalam prinsip ke-3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :

The right to development must be fulfilled so as to equitably meet development and environmental needs of present and future generations (Hak guna membangun harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi secara tepat keseimbangan kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup baik bagi generasi masa kini maupun generasi masa yang akan datang).

In Order to echieve sustainable development, environmental protection shall consitute an integral part of the development process and cannot be considered in isolation form it. (Dalam rangka mencapai pembangunan yang berkesinambungan, perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan tersebut, dan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah).

Dalam pelaksanaannya, pembangunan berwawasan lingkungan dikaitkan dengan ”pembangunan berkelanjutan” (“sustainable development”) yang menurut “The World Commission on Environment and Development (WCED)” dalam publikasi “Our Common Future” ditegaskan:

Pembangunan berkesinambungan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sehubungan dengan hal di atas, pada tahun 1987 oleh WCED diterbitkan publikasi pakar hukum lingkungan berupa “Environmental Protection and Sustainable Development, Legal Principles and Recommendations”. Pasal 7 karya tersebut menyatakan :

  1. States shall ensure that the conservation of nautral resources and the environment is treated as an integral part of the planning and implementation of development activities. Particular attention shall be paid to environmental problems arising in developing countries and to the need to incorporate environmental considerations in all development assistance programmes. (Negara menjamin bahwa konvervasi sumber daya alam dan lingkungan memperlakukan sebagai bagian integral dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Perhatian khusus diberikan terhadap masalah lingkungan yang timbul di negara-negara berkembang dan perlu untuk masuk pertimbangan lingkungan dalam semua program bantuan pembangunan).
  2. States shall make available to other states, and especially to developing countries, upon their request and under agreed terms scientific and technical information and expertise, results of research programmes, training oppourtinities and specialiezed equipment and facilities which are needed by such other states to promote rational use of natural resuorces, and the environment or to prevent or abate interference with natural resources or the environment, in particular in cases of environmental emergencies. (Negara-negara menyediakan untuk negara-negara lain dan khususnya negara-negara berkembang atas permintaan mereka dan di bawah persetujuan istilah-istilah ilmiah dan informasi teknik dan keahlian, hasil-hasil program penelitian, kesempatan pelatihan yang diperlukan oleh ngara-negara lain untuk memajukan penggunaan secara rasional sumber daya alam dan lingkungan atau mencegah intervensi dini dengan sumber daya alam atau lingkungan, dalam kasus tertentu dari bahaya lingkungan).

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi unsur-unsur berikut: (a) perencanaan, (b) pemanfaatan, (c) pengendalian, (d) pemeliharaan, (e) pengawasan, (f) penegakan hukum. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perencanaan perlindungan dan penglolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: (a) inventarisasi lingkungan hidup, (b) penetapan wilayah ekoregion, (c) penyusunan RPPLH. Selanjutnya, inventarisasi lingkungan hidup dibedakan atas inventarisasi lingkungan hidup nasional, tingkat pulau/kepulauan dan tingkat wilayah ekoregion. Tujuan inventarisasi lingkungan hidup adalah untuk memperoleh data dan sumber daya alam yang meliputi; (a) potensi dan ketersediaan, (b) jenis yang dimanfaatkan, (c) bentuk penguasaan, (d) pengetahuan pengelolaan, (e) bentuk kerusakan dan (f) konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Selanjutnya, inventarisasi lingkungan hidup akan menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion. Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: (a) karakteristik bentang alam, (b) daerah aliran sungai, (c) iklim, (d) flora dan fauna, (e) sosial budaya, (f) ekonomi, (g) kelembagaan masyarakat, (h) hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat rumusan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam batang tubuh undang-undang tersebut sebanyak 39 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1. Bandingkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 yang mana memuat 25 pengertian. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap memuat rumusan pengertian dari beberapa konsep dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berasal dari undang-undang sebelumnya. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat pengertian dari 35 konsep yang relevan dengan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu: (1) lingkungan hidup, (2) perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (3) pembangunan berkelanjutan, (4) rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (5) ekosistem, (6) pelestarian fungsi lingkungan hidup, (7) daya dukung, (8) lingkungan hidup, (9) daya tampung lingkungan hidup, (10) sumber daya alam, (11) kajian lingkungan hidup strategis, (12) analisis mengenai dampak lingkungan hidup, (13) upaya pengelolaan lingkungan hidup, (14) upaya pemantauan lingkungan hidup, (15) baku mutu lingkungan hidup, (16) pencemaran lingkungan hidup, (17) kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, (18) perusakan lingkungan hidup, (19) kerusakan lingkungan hidup, (20) konservasi sumber daya alam, (21) perubahan iklim, (22) limbah, bahan berbahaya dan beracun, (23) limbah bahan berbahaya dan beracun, (24) pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (25) dampak lingkungan hidup, (26) organisasi lingkungan hidup, (27) audit lingkungan hidup, (28) ekoregion, (29) kearifan lokal, (30) masyarakat hukum adat, (31) orang, (32) instrumen ekonomi lingkungan hidup, (33) ancaman serius, (34) izin lingkungan, (35) izin usaha.

         Beberapa konsep atau istilah baru yang dirumuskan dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan tidak ditemukan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 maupun Undang-Undang Lingkungan Hidup 1982 adalah kajian lingkungan hidup strategis, disingkat Kajian Lingkungan Hidup Strategis, kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, bahan berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3, dumping, audit lingkungan hidup, ekoregion, kearifan lokal, masyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, ancaman serius, izin lingkungan.

Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah “rangkaian analisis sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.” Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan instrumen kebijakan, perencanaan dan program. Diintrodusinya konsep Kajian Lingkungan Hidup Strategis didasari oleh pertimbangan bahwa instrumen-instrumen kebijakan yang berorientasi pada sebuah kegiatan, misalnya perizinan dan Analisis mengenai dampak lingkungan saja tidak memadai untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan karena kegiatan-kegiatan yang bersifat makro justeru menimbulkan dampak yang lebih luas dan bermakna sehingga perhatian harus difokuskan pula pada kegiatan makro seperti pembangunan suatu wilayah, kebijakan dan program pembangunan.

Kerusakan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 17 yaitu”perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 pengertian kerusakan lingkungan hidup tidak ditemukan, yang ada hanya pengertian perusakan lingkungan hidup. Dengan adanya rumusan kerusakan lingkungan hidup pada dasarnya tidak diperlukan lagi rumusan perusakan lingkungan hidup karena dengan pengertian kerusakan lingkungan hidup menunjukkan salah satu masalah lingkungan hidup, sedangkan perusakan lingkungan hidup mengandung makna perbuatan atau tindakan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat menjadi lebih hemat istilah. Misalkan untuk istilah pencemaran lingkungan cukup dengan sendirinya dipahami sebagai salah satu masalah lingkungan.

Pengertian perubahan iklim dirumuskan dalam Pasal 1 butir 19 yaitu “berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan”. Meskipun perubahan iklim dirumuskan, Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memuat pasal atau bab khusus yang mengatur prinsip-prinsip pengendalian dan pengelolaan perubahan iklim. Istilah perubahan iklim hanya sekadar disebut dalam Pasal 10 ayat (2) f dan (4) d yang mengatur Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 16 e yang mengatur Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Konsep-konsep lainnya seperti bahan berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, kearifan lokal dan masyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, ancaman serius, izin lingkungan akan diuraikan pada bagian tersendiri ketika membahas konsep-konsep tersebut.

Pengertian lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Pengertian perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”.

Pengertian pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, sosial, ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.” Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup” yang pada dasarnya pencantuman istilah “berwawasan lingkungan hidup” berlebihan karena secara konseptual makna pembangunan berkelanjutan sudah mengandung wawasan lingkungan hidup. Selanjutnya, pengertian rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dirumuskan dalam Pasal 1butir 4 yaitu “perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. “Konsep RPPLH tidak dikenal dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997.

Pengertian ekosistem sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 5 adalah: “tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling memengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup.” Pengertian pelestarian fungsi lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6, yaitu “rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.” Konsep daya dukung lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7, yaitu “kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antar kedua.” Selanjutnya, konsep daya tampung lingkungan hidup dirumuskan sebagai berikut: “kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.” Konsep daya dukung lingkungan berguna dalam kaitannya dengan pengendalian perusakan lingkungan hidup, sedangkan konsep daya tampung lingkungan hidup berguna dalam kaitannya dengan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Rumusan pengertian-pengertian pelestarian fungsi lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup dan daya tampung lingkungan hidup dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak berbeda secara prinsipil dengan rumusan pengertian ketiga konsep itu di dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997.

Pengertian sumber daya alam sebagaimana dirumuskan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.” Sebaliknya, Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 memuat istilah sumber daya saja tanpa kata “alam” yang bersifat lebih luas dari sumber daya alam karena meliputi pula sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Menurut pendapat penulis lebih tepat menggunakan istilah sumber daya alam karena lingkungan hidup memang mengandung sumber daya alam.

Pengertian analisis mengenai dampak lingkungan, disingkat Analisis mengenai dampak lingkungan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 adalah “kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” Rumusan pengertian Analisis mengenai dampak lingkungan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 memuat kata “besar” di samping kata “penting”. Dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kata “besar” ditiadakan. Menurut penulis penghilangan kata “besar” dapat dibenarkan karena antara keduanya seperti “redundancy” atau pengulangan. Selain itu, jika dilihat dari konsep Environmental Impact Assessment (EIA) dalam NEPA, Undang-undang lingkungan hidup Amerika Serikat – yang kemudian diadopsi oleh Indonesia – menggunakan istilah “significant impact”. Kata penting lebih tepat sebagai padanan kata “significant” daripada kata “besar”. Pengertian upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang disebut dengan singkatan UKL – UPL adalah “upaya pengelolaan dan upaya pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Pengertian baku mutu lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 13 adalah: “ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur dalam lingkungan hidup.” Rumusan ini sama dengan rumusan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 dan juga dengan rumusan Undang-Undang Lingkungan Hidup 1982.

Pengertian pencemaran lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang ditatapkan.” Rumusan ini agak berbeda dari pengertian pencemaran lingkungan hidup dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997, tetapi secara substansial tidak terdapat perbedaan pokok. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 terdapat kata-kata “berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.” Undang-Undang Lingkungan Hidup 1982 juga memuat pengertian pencemaran lingkungan hidup, tetapi dengan rumusan yang berbeda, yaitu mencakup pencemaran lingkungan hidup yang terjadi tidak saja akibat kegiatan manusia, tetapi juga akibat proses alam. Penghapusan pencemaran hidup akibat proses alam tampaknya didasarkan pada pandangan, bahwa hukum hanya mengatur perilaku manusia dan bukan perilaku alam. Lagi pula dengan memuat rumusan pencemaran lingkungan termasuk yang timbul akibat proses alam dikhawatirkan menimbulkan tanggung jawab yang berat bagi negara Indonesia jika terjadi sengketa lingkungan antar negara.

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum lingkungan yang begitu pesat, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut Undang-Undang Lingkungan Hidup) setelah berlaku lebih kurang selama 15 tahun, dipembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang mengatur mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Selanjutnya Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini pada 3 Oktober 2009 telah dirubah menjadi Undang-Undang tentang Perlindungan dan Penyelesaian Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 selanjutnya disebut UUPPLH. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut berlaku sebagai payung atau umbrela act atau umbrella provision atau dalam ilmu hukum disebut kaderwet atau raamwet, sebab hanya diatur ketentuan pokoknya saja. Oleh karenanya harus didukung oleh banyak peraturan pelaksanaannya.

Sebagai undang-undang pokok, maka Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mempunyai ciri-ciri sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum, yaitu adanya penguatan tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena setiap proses perumusan dan penerapan instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Juga diatur penguatan instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrument kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Analisis mengenai dampak lingkungan, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrument ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, dan instrument lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hukum mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah lingkungan hidup dan merupakan dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Namun hukum bukanlah satu-satunya sarana untuk menampung kebutuhan masyarakat terhadap pemecahan masalah lingkungan, peran serta Pengadilan dan pemahaman terhadap substansi hukum lingkungan juga diperlukan. Dalam hal ini perlu kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah dan keseimbangan hubungan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan serta antara hak dan kewajiban.

Terhadap masalah lingkungan diperlukan pola pikir global, tapi langkah-langkah dan tindakan yang perlu diambil dalam rangka pengelolaan lingkungan sifatnya lokal. Kunci utama kebijakan lingkungan terletak pada penetapan sarana yang diperlukan bagi langkah-langkah operasional.

Hukum lingkungan hidup merupakan instrument yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan kemorosotan mutu lingkungan. Dikatakan oleh Danusaputro bahwa hukum lingkungan hidup adalah konsep studi lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu hukum, dengan objek hukumnya adalah tingkat perlindungan sebagai kebutuhan hidup.

Hukum lingkungan pada dasarnya mencakup penataan dan penegakan atau compliance and enforcement. Yang meliputi bidang hukum administrasi, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.

Secara terminologi istilah penataan mempunyai arti tindakan preemtif, preventif, dan proaktif. Preemtif adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Preventif adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pelaksanaan melalui penataan baku mutu lingkungan limbah dan/atau isntrument ekonomi. Sedangkan proaktif adalah tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup, seperti ISO 1400.

Sementara makna penegakan dimaksudkan upaya menegakkan hukum materiel khususnya yang terdapat pada Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penegakan hukum dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdiri dari penegakan hukum administrasi, penegakan hukum perdata termasuk penyelesaian sengketa lingkungan di luar Pengadilan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa/Alternative Dispute Resolution dan terakhir penegakan hukum pidana.

Semua pengaturan tentang lingkungan hidup pada dasarnya dimaksudkan agar alam dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia pada saat ini dan juga tidak kalah pentingnya adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat dimasa mendatang (sustainable development). Dengan kata lain pembuatan Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta aturan sektoral lainnya dimaksudkan atau dijiwai untuk menyelamatkan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa lingkungan hidup Indonesia telah mengalami berbagai kerusakan yang sangat mengkhawatirkan dan untuk itu diperlukan pengaturan yang memadai. Berbagai bencana alam yang banyak terjadi akhir-akhir ini seperti banjir di berbagai daerah di Indonesia, longsor, tercemarnya teluk buyat oleh PT NMR, dan kejadian terakhir yang sampai hari ini belum tuntas penanganannya adalah tenggelamnya ribuan hektar sawah di Porong akibat meluapnya lumpur setelah dilakukan pengeboran oleh PT Lapindo, semuanya ditengarai akibat ulah manusia.

Payung hukum atau umbrella act atau umbrella provision atau dalam ilmu hukum disebut kadarwet atau raamwet yang utama terhadap masalah lingkungan hidup adalah Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini menjadikan ketentuan payung bagi peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi peraturan lebih lanjut di bawahnya (lex feranda atau ketentuan organik) atas lingkungan hidup.

Keberadaan hukum lingkungan dimaksudkan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan alam dari kemerosotan mutu dan kerusakannya dalam rangka menjaga kelestariannya. Tentang hukum lingkungan ini Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat, bahwa hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih sangat muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini.[5]

Walaupun keberadaan hukum lingkungan dalam dunia keilmuan meski dipandang baru sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran akan lingkungan, pada hakekatnya dibutuhkan untuk melindungi lingkungan hidup dari ancaman kemerosotan atau kerusakan akibat tindakan atau perilaku manusia yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dalam jangka panjang dan permanen untuk menunjang kehidupannya. Hukum lingkungan Indonesia ini diharapkan menjadi pedoman bagi setiap orang yang berdomisili di Indonesia agar bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku dalam mengelola lingkungan hidup.

[1] Danoesaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan, (Jakarta:Bina Cipta,1981), hlm,105.

[2] Hardjasoemantri, Koesnadi,  Hukum  Tata Lingkungan,  (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hlm, 12.

[3] Ibid., hal 12

[5] Hardjasoemantri, Koesnadi,  Hukum  Tata Lingkungan,  (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hlm 87.

Pengertian Hukum Pidana

Posted: 31 Maret 2015 in Hukum Pidana
Tag:

Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Hazewinkel-Suringa

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.[1]

  1. L.G. Lemaire

Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.[2]

  1. F.C. Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.[3]

  1. Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[4]
  4. Adami Chazawi

Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

  1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
  2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;
  3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha me-lindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.[5]

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur tentang:

  1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
  2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
  3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
  4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.
  5. Tujuan/Fungsi Hukum Pidana

Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat[6]. Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung, kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika me-nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dikenakan kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial.[7]

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat dipidana[8]. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.[9]

Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.[10]

  1. Pembagian Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:

  1. Hukum Pidana Objektif Dan Hukum Pidana Subjektif (Ius Poenale Dan Ius Puniendi)

Hukum Pidana Objektif adalah hukum pidana yg berisi larangan dan ancaman pidana  bagi siapa yg melanggar larangan tersebut. Dengan kata lain hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sedangkan Hukum Pidana Subjektif adalah aturan mengenai hak atau kewenangan negara dibidang hukum pidana, yakni meliputi: (a) untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum; (b) untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; serta (c) untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.[11]

  1. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil

Menurut van Hattum:

  1. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
  2. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.[12]
  3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)
  4. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
  5. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang didalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
  6. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel)
  7. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;
  8. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
  9. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht)

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.[13]

  1. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan Pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.

  1. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk strafrecht)

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana nasional[14]. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.[15]

Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[16]

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana supranasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

  1. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
  2. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.[17]
  3. Sumber Hukum Pidana

Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:[18]

  1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis

Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah KUHP. KUHP  merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya.

  1. Hukum pidana adat

Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.

  1. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)

M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal 1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1[19] ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan didalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis (UU) sebagai kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam undang-undang.[20]

 Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[21]

[1] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Hal. 4.

[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), Hal. 1-2.

[3] Ibid, Hal. 2.

[4] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (1982), Hal. 1.

[5] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Hal. 2.

[6] Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Hal.23.

[7] Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 14-15.

[8] J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1979), Hal. 55.

[9] Andi Hamzah, Op.Cit., Hal. 9 -10.

[10] Ibid, Hal. 10.

[11] Adami Chazawi, Op.Cit., Hal. 9 -10.

[12] P.A.F. Lamintang, Op.cit., Hal. 10.

[13] Ibid, Hal. 11.

[14] Ibid, Hal. 12.

[15] Adami Chazawi, Op.Cit. Hal. 13.

[16] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., Hal. 12.

[17] Adami Chazawi, Op.Cit., Hal. 14.

[18] Sudarto, Op.Cit., Hal. 15 -19.

[19] Pasal 1 Konsep KUHP Baru berbunyi:

  • Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
  • Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berla-kunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  • Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prin-sip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

[20] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), Hal. 73-74.

[21] Penjelasan Buku I angka 3 Konsep KUHP Baru Tahun 2008

Tujuan penegakan hukum lingkungan melalui mekanisme hukum perdata lebih berorientasi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap lingkungan maupun si korban yang menderita kerugian sebagai akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

Hukum perdata dapat memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum.

Dalam konteks Perbuatan Melawan Hukum dalam sengketa lingkungan hidup di Indonesia dikenal Asas Tanggung Jawab Mutlak. Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan salah satu jenis pertanggung jawaban perdata (civil liability).

Pertanggung jawaban perdata dalam konteks penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Pertanggung jawaban perdata tersebut mengenal 2 (dua) jenis pertanggung jawaban :

  1. Pertanggung jawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault based liability);
  2. Pertanggung jawaban mutlak/ketat (strict liability) suatu pertanggung jawaban tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan (fault.

Konsep pertama tersebut dikenal sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yaitu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan (fault). Mengandalkan unsur kesalahan dalam konteks pesatnya perkembangan keilmuan dan teknologi sering-kali menimbulkan kesulitan dalam memprediksi risiko yang timbul dari suatu kegiatan (industri). Melihat keterbatasan dari fault based liability ini maka mungkin terjadi timbulnya pencemaran atau perusakan lingkungan tanpa dapat dikenakan pertanggung jawaban. Fault based liability juga memungkinkan pencemar atau perusak lingkungan terbebas dari pertanggung jawaban perdata apabila ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya maksimal pencegahan pencemaran melalui pendekatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (dengan melaksanakan RKL dan RPL secara konsisten) Oleh karena itu, sejak adanya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Azas yang dianut adalah tanggung jawab mutlak b(Strict Liability), begitu juga dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menganut azas ini, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan, tetapi cukup membuat potensi tersebut terjadi, maka dapat dijadikan dasar gugatan.

Penegakan hukum di bidang lingkungan menurut Keith Hawkin, sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri[1],  pada dasarnya dapat dilihat dari dua strategi yang berkarakter yakni pembenahan peraturan dan pemberian sanksi. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan dalam pengaturan mengenai lingkungan dimasukkan ketentuan pidana di dalamnya agar penegakan hukum lingkungan itu sendiri dapat berjalan secara efektif.

Pada hakekatnya eksistensi hukum pidana dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah bertujuan untuk mempertahankan eksistensi lingkungan kepada fungsi keberlanjutannya. Pada esensinya, hukum pidana merupakan sarana represif, yakni serangkaian pengaturan yang ditujukan untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa negatif, supaya pada berikutnya kembali kepada keadaan semula. Berkaitan dengan fungsinya yang represif, hukum pidana hendaknya dibantu oleh sejumlah kebijakan pengenaan perangkat, yang berperan kepada arah perlindungan lingkungan.

Pengaturan tindak pidana lingkungan diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 120 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman pidananya dapat berupa pidana penjara, denda dan pidana tambahan atau tata tertib. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi.

Mekanisme penegakan hukum pidana lingkungan meliputi beberapa proses, dan setiap proses akan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum, baik yang diatur dengan hukum pidana formil (hukum acara  pidana) maupun hukum pidana materiil. Seperti diketahui penegakan hukum lingkungan  dapat di bagi ke dalam 3 tahapan pokok, yakni tindakan pre-emtive, tindakan preventif, dan tindakan represif. Tindakan pre-emtive, yakni tindakan antisipasi yang bersifat mendeteksi secara lebih awal berbagai faktor korelasi kriminogen, yakni faktor-faktor yang memungkinkan (baca: belum tentu terjadi) kerusakan dan pencemaran lingkungan. Dengan deteksi atau faktor kriminogen ini dapat dilakukan pencegahan dan tidak terjadi ancaman faktual terhadap lingkungan. Tindakan preventif adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan untuk mencegah perusakan atau pencemaran lingkungan, misalnya pengawasan yang kontinu terhadap pabrik-pabrik, pengawas-pengawas hukum lingkungan bersifat responsive terhadap pengaduan masyarakat, para polisi kehutanan mengawasi pencurian kayu dan penebangan liar, atau pejabat instansi sektoral lingkungan menegur dan memberi peringatan kepada pihak-pihak yang melakukan gejala tidak baik bagi sistem lingkungan. Sedangkan Tindakan represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas hukum melalui proses hukum pidana, karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merusak dan mencemari lingkungan[2]

Proses penegakan hukum pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

  1. Tahap penyidikan;
  2. Tahap penyidikan;
  3. Tahap eksekusi atau penuntutan;
  4. Tahap peradilan;
  5. Tahap eksekusi;

Dalam melakukan proses untuks setiap tahap penegakan hukum pidana ialah ketentuan-ketentuan hukum  hukum acara. Sumber pokok hukum acara pidana adalah KUHAP dan disamping itu didapat dari ketentuan-ketentuann khusus di dalam undang-undang yang relevan, termasuk Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pejabat penyidik terhadap tindak pidana  lingkungan menurut pasal 94 UUPPLH, terdiri dari kalangan kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan kantor menteri lingkungan hidup. Dalam pasal 94 ayat (2) UUPPLH diatur penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:

  1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  2. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
  6. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  7. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  8. menghentikan penyidikan;
  9. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
  10. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan,dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
  11. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum dari kejaksaan, dengan melimpahkan berkas perkara tersebut ke pengadilan untuk kemudian dimintakan supaya diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Pengadilan terdiri dari hakim dan panitera dihadari oleh penuntut umum dan terdakwa dan kuasanya, melalukan proses peradilan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara tersebut sesuai asas-asas peradilan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan

               [1] Koesnadi Harjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1999), Hlm. 6

               [2] N.H.T Siahaan , Hukum Lingkungan, (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), Hlm. 358.

Penerapan hukum administrasi dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai fungsi sebagai instrumen pengendalian, pencegahan, dan penanggulangan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan-ketentuan lingkungan hidup. Melalui sanksi administasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan, sehingga sanksi administrasi merupakan instrument yuridis yang bersifat  preventif dan represif non-yustisial untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain bersifat represif, sanksi administrasi juga mempunya sifat reparatoir, artinya memulihkan keadaan semula, oleh karena itu pendayagunaan sanksi administrasi dalam penegakan hukum lingkungan penting bagi upaya pemulihan media lingkunganyang rusak atau tercemar.

Berbeda dengan sanksi perdata maupun sanksi pidana, penerapan sanksi administrasi oleh pejabat administrasi dilakukan tanpa harus melalui proses pengadilan (nonyustisial), sehingga penerapan sanksi administrasi relatif lebih cepat dibandingkan dengan sanksi lainnya dalam upaya untuk menegakkan hukum lingkungan. Yang tidak kalah pentingnya dari penerapan sanksi administrasi ini adalah terbuka ruang dan kesempatan untuk partisipasi masyarakat.

Penegakan hukum administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan atas dua instrumen penting, yaitu pengawasan dan penerapan sanksi administratif. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap:

  1. Izin Lingkungan

Pelanggaran izin lingkungan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang karena:

  • Tidak memiliki izin lingkungan;
  • Tidak memiliki dokumen lingkungan;
  • Tidak menaati ketentuan yang dipersyaratkan dalam izin lingkungan, termasuk tidak mengajukan permohonan untuk izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tahap operasional;
  • Tidak menaati kewajiban dan/atau perintah sebagaimana tercantum dalam izin lingkungan;
  • Tidak melakukan perubahan izin lingkungan ketika terjadi perubahan sesuai Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
  • Tidak membuat dan menyerahkan laporan pelaksanaan terhadap pelaksanaan persyaratan dan kewajiban lingkungan hidup; dan/atau
  • Tidak menyediakan dana jaminan.
    1. Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:

  • izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, yang meliputi:
    1. izin penyimpanan limbah B3;
    2. izin pengumpulan limbah B3
    3. izin pemanfaatan limbah B3;
    4. izin pengolahan limbah B3;
    5. izin penimbunan limbah B3;
  • Izin dumping ke laut;
  • izin pembuangan air limbah;
  • izin pembuangan air limbah ke laut;

Pada hakekatnya Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang karena:

  • tidak memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  • tidak memiliki izin lingkungan;
  • tidak memiliki dokumen lingkungan;
  • tidak menaati persyaratan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  • tidak menaati kewajiban dan/atau perintah sebagaimana tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
  • tidak membuat dan menyerahkan laporan pelaksanaan terhadap pelaksanaan persyaratan dan kewajiban lingkungan hidup.

Adapun jenis sanksi andministrasi yang diatur didalam Undang-undang N0. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:

  1. Teguran tertulis

Sanksi Administratif teguran tertulis adalah sanksi yang diterapkan kepada penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan persyaratan yang ditentukan dalam izin lingkungan. Namun pelanggaran tersebut baik secara tata kelola lingkungan hidup yang baik mapun secara teknis masih dapat dilakukan perbaikan dan pula belum menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Pelanggaran tersebut harus dibuktikan dan dipastikan belum menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

  1. Paksaan Pemerintah

Paksaan pemerintah adalah sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan dalam keadaan semula. Penerapan sanksi paksaan pemerintah dapat dilakukan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dengan terlebih dahulu diberikan teguran tertulis. Adapun penerapan sanksi paksaan pemerintah dapat dijatuhkan pula tanpa didahului dengan teguran tertulis apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:

  1. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup
  2. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
  3. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Sanksi paksaan pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk:

  1. Penghentian sementara kegiatan produksi;
  2. pemindahan sarana produksi;
  3. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
  4. pembongkaran;
  5. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
  6. penghentian sementara seluruh kegiatan; dan/atau
  7. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dikenakan sanksi adminstratif berupa paksaan pemerintah dalam hal melakukan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan lingkungan dan terkait lingkungan.

  1. Pembekuan Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sanksi administratif pembekuan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan adalah sanksi yang berupa tindakan hukum untuk tidak memberlakukan sementara izin lingkungan dan/atau  izin perlindungan dan pengelolaan yang berakibat pada berhentinya suatu usaha dan/atau kegiatan. Pembekuan izin ini dapat dilakukan dengan atau tanpa batas waktu.

Penerapan sanksi administratif berupa pembekuan izin lingkungan diterapkan terhadap pelanggaran, misalnya:

  1. tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
  2. melakukan kegiatan selain kegiatan yang tercantum dalam izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan;
  3. pemegang izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan belum menyelesaikan secara teknis apa yan seharusnya menjadi kewajibannya.
    1. Pencabutan Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sanksi administratif berupa pencabutan izin lingkungan diterapkan terhadap pelanggaran, misalnya:

  1. tidak melaksanakan sanksi administratif paksaan pemerintah;
  2. memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin usaha;
  3. tidak melaksanakan sebagian besar atau seluruh sanksi administratif yang telah diterapkan dalam waktu tertentu;
  4. terjadinya pelanggaran yang serius yaitu tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat;
  5. menyalahgunakan izin pembuangan air limbah untuk kegiatan pembuangan limbah B3;
  6. menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah dan menimbun limbah B3 tidak sesuai sebagaimana yang tertuang dalam izin.
    1. Denda Administratif

Yang dimaksud dengan sanksi administratif denda adalah pembebanan kewajiban untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan karena terlambat untuk melakukan paksaan pemerintahan Pengenaan denda terhadap keterlambatan melaksanakan paksaan pemerintah ini terhitung mulai sejak jangka waktu pelaksanaan paksaan pemerintah tidak dilaksanakan

Sejak Deklarasi Stockholm tahun 1972 telah digariskan hubungan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pembangunan tanpa merusak lingkungan, yang selanjutnya dikenal dengan kebijakan “Pembangunan berwawasan Lingkungan” (“Eco-development”) sebagaimana ditegaskan dalam prinsip ke-13 Deklarasi Stocholm:

In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, states should adopt an itegrated and co-ordinated aproach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for the the benefit of their population. (Guna mencapai pengelolaan sumber daya alam yang lebih rasional dan untuk memperbaiki lingkungan, negara harus melakukan pendekatan integral dan kordinatif dengan perencanaan pembangunan negara yang bersangkutan sehingga menjamin pembangunan negara yang bersangkutan sehingga menjamin pembangunan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk keuntungan penduduk mereka sendiri.

Dalam Deklarasi Rio dirumuskan pula keterkaitan pembangunan dengan lingkungan sebagaimana tertuang dalam prinsip ke-3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :

The right to development must be fulfilled so as to equitably meet development and environmental needs of present and future generations (Hak guna membangun harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi secara tepat keseimbangan kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup baik bagi generasi masa kini maupun generasi masa yang akan datang).

In Order to echieve sustainable development, environmental protection shall consitute an integral part of the development process and cannot be considered in isolation form it. (Dalam rangka mencapai pembangunan yang berkesinambungan, perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan tersebut, dan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah).

Dalam pelaksanaannya, pembangunan berwawasan lingkungan dikaitkan dengan ”pembangunan berkelanjutan” (“sustainable development”) yang menurut “The World Commission on Environment and Development (WCED)” dalam publikasi “Our Common Future” ditegaskan:

Pembangunan berkesinambungan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sehubungan dengan hal di atas, pada tahun 1987 oleh WCED diterbitkan publikasi pakar hukum lingkungan berupa “Environmental Protection and Sustainable Development, Legal Principles and Recommendations”. Pasal 7 karya tersebut menyatakan :

States shall ensure that the conservation of nautral resources and the environment is treated as an integral part of the planning and implementation of development activities. Particular attention shall be paid to environmental problems arising in developing countries and to the need to incorporate environmental considerations in all development assistance programmes. (Negara menjamin bahwa konvervasi sumber daya alam dan lingkungan memperlakukan sebagai bagian integral dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Perhatian khusus diberikan terhadap masalah lingkungan yang timbul di negara-negara berkembang dan perlu untuk masuk pertimbangan lingkungan dalam semua program bantuan pembangunan).

States shall make available to other states, and especially to developing countries, upon their request and under agreed terms scientific and technical information and expertise, results of research programmes, training oppourtinities and specialiezed equipment and facilities which are needed by such other states to promote rational use of natural resuorces, and the environment or to prevent or abate interference with natural resources or the environment, in particular in cases of environmental emergencies. (Negara-negara menyediakan untuk negara-negara lain dan khususnya negara-negara berkembang atas permintaan mereka dan di bawah persetujuan istilah-istilah ilmiah dan informasi teknik dan keahlian, hasil-hasil program penelitian, kesempatan pelatihan yang diperlukan oleh ngara-negara lain untuk memajukan penggunaan secara rasional sumber daya alam dan lingkungan atau mencegah intervensi dini dengan sumber daya alam atau lingkungan, dalam kasus tertentu dari bahaya lingkungan).

Achmad Santosa menyebut bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development) memiliki 5 (lima) prinsip dasar, yakni sebagai berikut:[2]

  1. Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity)

Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity)  berangkat dari suatu gagasan bahwa generasi sekarang menguasai sumber daya alam yang ada dibumi sebagai titipan untuk dipergunakan generasi yang akan datang. Setiap generasi merupakan penjaga (trustee/custodian) dari planet bumi ini untuk kemanfaatan generasi berikutnya, dan sekaligus sebagai penerima manfaat dari generasi sebelumnya. Keadaan demikian menuntut tanggung jawab dari generasi sekarang untuk memelihara peninggalan seperti halnya kita menikmati berbagai hak untuk menggunakan warisan bumi ini dari generasi sebelumnya.

  1. Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerationalal equity)

Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerationalal equity) merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan diantara satu atau sesama (single) generasi, termasuk didalamnya ketidakberhasilan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar lingkungan dan sosial, atau terdapatnya kesenjangan antara individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat tentang pemenuhan kualitas hidup (environmental and social quality of life). Intragenerationalal equity sangat erat terkait dengan isu lingkungan dan sustainability karena:

  1. Beban dari permasalahan lingkungan dipikul oleh mereka (masyarakat) yang lemah (secara sosial dan ekonomi)
  2. Tidak seluruh anggota masyarakat memiliki akses yang sama dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan. Pengetahuan, keterampilan, keberdayaan (power) serta struktur pengambilan keputusan disatu sisi menguntungkan anggota masyarakat tertentu dan disisi lain merugikan kelompok masyarakat lain, dan
  3. Tidak sedikit praktek-praktek pembangunan dan produksi yang tidak berkelanjutan mengakibatkan kerusakan sumber alam nasional atau sumber daya alam yang dipergunakan bagi hajat hidup orang banyak.
  1. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle)

Prinsip ini mengandung suatu pengertian apabila terdapat ancaman yang berarti atau ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup tersebut. Dalam menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh:

  1. Evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan
  2. Penilaian (assessment) dengan melakukan anaslisis resiko dengan menggunakan berbagai opsi

Gagasan di balik penggunaan prinsip ini merupakan respon terhadap kebijakan lingkungan konvensional dimana upaya pencegahan atau penanggulangan baru dapat dilakukan apabila resiko benar-benar telah dapat diketahui serta dibuktikan. Mengikuti pola konvensional ini maka upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap kerusakan lingkungan seringkali terlambat.

  1. Prinsip perlindungan keanekaan hayati (biodiversity concervation)

Prinsip perlindungan keanekaan hayati (biodiversity concervation) merupakan tolak ukur berhasil tidaknya Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity) dan Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerationalal equity) serta Prinsip pencegahan dini (precautionary principle). Sebagai contoh dalam keadaan masyarakat lokal/setempat (indigenous people) mengalami kehilangan atau terputus dari ekosistemnya, sedangkan ekosistem tersebut sebagai “survival system” mereka oleh aktivitas pembangunan, maka tertutup akses bagi mereka terhadap tingkat kehidupan dan kesejahteraan yang layak. Pada akhirnya, perlindungan keanekaragaman hayati akan efektif dilakukan melalui upaya ekonomi lingkungan.

  1. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif

Rasio pentingnya penekanan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan dimana penggunaan sumber daya alam merupakan kecendrungan atau reaksi dari dorongan pasar. Sebagai akibatnya adalah kepentingan yang selama itu tidak terwakili dalam komponen pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar tersebut diabaikan, dan menimbulkan kerugian bagi mereka. Dampak ini yang diistilahkan eksternalitas, sebab kepentingan-kepentingan kelompok yang dirugikan merupakan komponen eksternal (yang tidak masuk hitungan) dalam proses pembentukan harga pasar. Masyarakat yang menjadi korban dari kerusakan lingkungan tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa kelompok untuk membayar kerugian bagi kerusakan tersebut, kecuali pengadilan atau mekanisme resolusi konflik lainnya.

   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menggariskan bahwa pola pembangunan Indonesia dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup adalah pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

   Pembangunan yang berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1.memberikan kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungny, baik secara langsung maupun tidak langsung; 2. memanfaatkan sumber alam sebanyak alam atau teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari; 3. memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang secara bersama-sama baik didaerah dan kurun waktu yang sama maupun di daerah dan kurun waktu yang berbeda secara sambung menyambung; 4. meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber alam dan melindungi serta mendukung perikehidupan secara terus menerus; 5. menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung perikehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang.

Hak atas lingkungan hidup (the right to environment) mulai ramai dibicarakan bersamaan dengan hak atas pembangunan (the right to development) sejak diselenggarakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm Swedia 1972 yang kemudian disusul oleh KTT Bumi di Rio Janeiro Brazil 1992 yang membicarakan mengenai pembangunan dan lingkungan hidup dan Konferensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan 2002 yang menghasilkan komitmen dan konvensi serta rencana aksi bagi terlaksananya pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup.
Pada hakekatnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah suatu fondasi yang sangat penting dari jenis-jenis hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak atas standar hidup yang layak, dan hak atas kesehatan dan lingkungan yang bersih. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat sangat terkait dengan pencapaian kualitas hidup manusia, sehingga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Di samping itu, tidak diperbolehkan adanya jenis-jenis diskriminasi apapun dalam penghormatan hak atas lingkungan hidup. Nilai universal hak asasi manusia yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam intrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di bidang HAM.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia memuat prinsip bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh sebab itu, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di bidang sosial politik hanya dapat berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta hak solidaritas juga dilindungi dan dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya.
Dengan diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, kewajiban Pemerintah Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan jaminan-jaminan ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan hukum ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini perlu dilakukan Indonesia, sebab ketaatan terhadap perjanjian merupakan asas atau norma dasar hukum internasional umum (jus cogens) yang tidak boleh dilanggar.
Pasal 28I (4) dan (5) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan. Perlindungan dan pemenuhan hak atas lingkungan hidup akan sangat tergantung pada instrumen hukum apa yang tersedia dan dapat digunakan negara (pemerintah) untuk melindungi dan memenuhi hak asasi dan hak konstitutional warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat memerlukan pengaturan hukum yang berorientasi pada lingkungan sebagai ciri dari hukum lingkungan modern. Menurut Munadjat Danusaputro, hukum lingkungan modern adalah hukum yang berorientasi kepada lingkungan (environmental-oriented law), yang berbeda dengan hukum lingkungan klasik yang lebih berorientasi kepada penggunaan lingkungan (use-oriented law).
Hukum lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusaia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang dan generasi mendatang. Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya”.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia dan sekaligus hak konstitusional warga negara, upaya perlindungan dan pemenuhannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dilihat dari segi judul UUPPLH, perlindungan lingkungan mendapatkan penekanan, di samping pengelolaan lingkungan. Hal ini berarti norma-norma perlindungan lingkungan hidup mendapatkan porsi utama dalam UUPPLH mengingat kerentanan lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat oleh krisis lingkungan yang terjadi akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Dalam UUPPLH ditegaskan bahwa salah satu tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Konsepsi ini mengakomodir dua hak sekaligus, yaitu hak lingkungan atas kualitas lingkungan hidup yang baik dan hak manusia untuk menikmati lingkungan hidup tersebut sehingga kehidupan dapat berjalan dengan harmonis. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa manusia dan lingkungan hidup merupakan dua unsur yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum lingkungan sebagai subjek hukum yang menentukan bekerjanya sistem kehidupan. Kepentingan manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga merupakan kepentingan lingkungan hidup dan keduanya merupakan satu kesatuan yang membentuk sistem kehidupan tersebut.

Dalam konteks lingkungan hidup, di Indonesia ada peraturan yang mengatur tentang masalah lingkungan hidup. Regulasi ini bukanlah hal yang baru, karena cukup banyak peraturan hukum yang dapat dikelompokkan ke dalam apa yang dinamakan Hukum Lingkungan, yang tersebar dalam berbagai peraturan. Sebagian dari peraturan-peraturan tersebut, bahkan sudah ada sejak zaman Belanda dan sudah berusia lebih daripada setengah abad. Tetapi nampaknya setiap peraturan itu berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada ikatan antara satu dengan yang lainnya, selain itu efektivitas dari peraturan-perundang-undangan itu sudah banyak yang berkurang.
Tonggak sejarah pengaturan Hukum Lingkungan di Indonesia secara komprehensif atau disebut environmental oriented law adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan (LN 1982 No. 12, TLN No. 3215), yang disingkat dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup. yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN 1997 No. 12, TLN No. 3215) yang disingkat UUPLH dan sekarang diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LNRI Tahun 2009 Nomor 140 TLN Nomor 5059) yang disingkat dengan UUPPLH.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
Semua undang-undang di atas hanya memuat asas-asas dan prinsip-prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang tersebut berfungsi sebagai “payung” bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Undang-Undang Lingkungan Hidup atau Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebut sebagai “umbrella act” atau “umbrella provision”.
Fungsi dari Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup/Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut harus mampu menjadi dasar dan landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup, di samping secara khusus memberikan arah serta ciri-cirinya terhadap semua jenis tata pengaturan lingkungan hidup. Sehingga semua peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dapat terangkum dalam satu sistem Hukum Lingkungaan Indonesia.
Kini kebijakan pengelolaan lingkungan telah tertuang melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 yang menginstruksikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan lingkungan atau disebut pembangunan berkelanjutan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana , yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Indonesia sebagai negara yang berkembang, yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang, juga harus berorientasi kepada pembangunan lingkungan. Pengertian pembangunan di sini merupakan upaya sadar bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 digariskan konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah upaya sistematis terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan :
1) perencanaan,
2) pemanfaatan,
3) pengendalian,
4) pemeliharaan,
5) pengawasan dan,
6) penegakan hukum
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah
Menurut Pasal 2 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
1) tanggung jawab negara;
2) kelestarian dan keberlanjutan;
3) keserasian dan keseimbangan;
4) keterpaduan;
5) manfaat;
6) kehati-hatian;
7) keadilan;
8) ekoregion;
9) keanekaragaman hayati;
10) pencemar membayar;
11) partisipatif;
12) kearifan lokal;
13) tata kelola pemerintahan yang baik; dan
14) otonomi daerah.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Undang-undang baru menjanjikan banyak hal perubahan. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 ini adalah adanya penguatan tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan
Berbeda dari dua undang-undang pendahulunya yang hanya menggunakan istilah Pengelolaan Lingkungan Hidup pada penamaannya, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 diberi nama Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penambahan istilah “Perlindungan” ini didasarkan pada pandangan anggota Panja DPR RI dengan rasionalisasi agar lebih memberikan makna tentang pentingnya lingkungan hidup untuk memperoleh perlindungan. Pihak eksekutif dan tim penyusun dan tim ahli sebenarnya sudah menjelaskan kepada para anggota Panja DPR bahwa pengelolaan lingkungan hidup merupakan konsep yang di dalamnya telah mengandung unsur perlindungan lingkungan hidup di samping pemanfaatan lingkungan hidup. Tetapi para anggota Panja DPR bersikeras bahwa istilah perlindungan harus dicantumkan dalam judul undang-undang sehingga akhirnya hal itu sepakat diterima.
Dibandingkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup 1982 dan Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997, Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat bab dan pasal yang lebih banyak. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdiri atas XVII bab dan 127 Pasal. Penamaan bab-babnya adalah sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup, Bab III tentang Perencanaan, Bab IV tentang Pemanfaatan, Bab V tentang Pengendalian, Bab VI tentang Pemeliharaan, Bab VII tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Bab VIII tentang Sistem Informasi, Bab IX tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, Bab X tentang Hak, Kewajiban dan Larangan, Bab XI tentang Peran Masyarakat, Bab XII tentang Pengawasan dan Sanksi Administratif, Bab XIII tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Bab XIV tentang Penyidikan dan Pembuktian, Bab XV tentang Ketentuan Pidana, Bab XVI tentang Ketentuan Peralihan dan terakhir Bab XVII tentang Ketentuan Penutup.Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memerlukan peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dalam bidang-bidang sebagai berikut :
1) Inventarisasi lingkungan hidup (Pasal 11);
2) Penerapan ekoregion (Pasal 11);
3) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 11);
4) Penetapan daya dukung dan daya tampung (Pasal 12 ayat (4);
5) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Pasal 18 ayat (2);
6) Baku Mutu Lingkungan Hidup (Pasal 20 ayat (4);
7) Kriteria Baku Kerusakan (Pasal 21 ayat (5);
8) Analisis mengenai dampak lingkungan (Pasal 33);
9) Izin Lingkungan (Pasal 41);
10) Instrumen ekonomi lingkungan (Pasal 43 ayat (4);
11) Analisis risiko lingkungan (Pasal 47 ayat (3);
12) Tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan (Pasal 53 ayat (3);
13) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 56);
14) Tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup (Pasal 54 ayat (3);
15) Dana penjaminan (Pasal 55 ayat (4);
16) Konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer (Pasal 57 ayat (5);
17) Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Pasal 58 ayat (2);
18) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Pasal 59 ayat (7);
19) Tata cara dan persyaratan dumping (Pasal 61 ayat (3);
20) Tata cara pengawasan (Pasal 75);
21) Sanksi administrasi (Pasal 83);
22) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup (Pasal 86 ayat (3).

Selain itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 juga mengatur :
a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Analisis mengenai dampak lingkungan, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Dalam menjalankan tugasnya Pemerintah melakukan pengelolaan lingkungan lebih bersifat preventif daripada represif. Kepada pemerintah oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 diberikan instrumen hukum yang dikenal dengan baku mutu lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan (Analisis mengenai dampak lingkungan) dan perizinan.
Apabila dibandingkan dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 ada sejumlah penguatan terhadap intrumen pemerintah dalam pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana disebut dalam Pasal 14 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang terdiri atas :
a. Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. Analisis mengenai dampak lingkungan;
f. UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Dan Upaya Pemantauan Terhadap Lingkungan Hidup);
g. perizinan;.
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Penguatan terhadap intrumen pemerintah di atas antara lain adalah : kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.
Dengan demikian Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup perlu mempertimbangkan;
a. Pemanfaatan sumber daya alam harus didasarkan pada rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menjadi dasar penyusunan rencana pembanhygunan jangka panjang dan menengah.
b. Penguatan dampak lingkungan untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar. Selain itu, perlu mempertimbangkan potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan Analisis mengenai dampak lingkungan dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai Analisis mengenai dampak lingkungan dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang Analisis, yang menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.
c. Masalah perijinan juga diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan.
d. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain Memperkuat sistem hukum PPLH dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan antara lain pejabat pengawas yang berwenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum, yang berkoordinasi dengan kepolisian.
e. Pejabat pemberi ijin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.
Adanya penguatan terhadap peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan memang dilatar belakangi semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan lingkungan hidup yang perlu penanganan secara lebih komprehenship. Tetapi pertanyaan besar yang timbul adalah telah siapkah aparat pemerintah terutama di daerah dalam menjalankan amanat Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tersebut ? Pertanyaan ini muncul dengan melihat kasus-kasus lingkungan yang terjadi di daerah masalahnya adalah bukan terletak karena terbatasnya instrumen pengelolaan lingkungan tetapi lebih dari itu karena soal sumber daya manusia yang kurang memadai dari segi jumlah dan kompetensi.

Halo dunia!

Posted: 30 Maret 2015 in Tidak Dikategorikan

Ini adalah pos pertama Anda. Klik tautan Sunting untuk mengubah atau menghapusnya, atau mulai pos baru. Jika Anda menyukai, gunakan pos ini untuk menjelaskan kepada pembaca mengapa Anda memulai blog ini dan apa rencana Anda dengan blog ini.

Selamat blogging!