Arsip untuk April, 2015

Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan[1]. Terlepas dari aspek tersebut diatas pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada ruang lingkup lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Secara terminologi Sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penagggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem[2] Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli hukum dalam “criminal justice system”di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan lembaga penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari peningkatan kriminalitas di Amerika Serikat  pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam konteks penegakan hukum dikenal dengan istilah “law enforcement”. Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektivitas dan efesiensi kerja organisasi kepolisian.

Frank remington adalah orang pertama di Amerika Serikt yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (System Approach) dan gagasan mengenai sistem ini teradapat pada laporan pilot proyek tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh “The President’s Crime Commision” . Dalam kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, Criminal Justice sebagai disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “Law Enforcement” atau “Police Studies”. Perkembangan sistem ini di amerika serikat dan dibeberapa negara eropa menjadi model yang dominan dengan menitikberatkan pada “The Administration Of Justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.[3]

Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.[4] Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukan oleh Romli tersebut, sistem tersebut mempunyai ciri-ciri:

  1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan).
  2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana
  3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara
  4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The Administration Of Justice

Berbeda dengan pendapatnya Romli Atmasasmita, Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap SPP adalah: sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarkatan terpidana. Berkaitan dengan definisi tersebut, Mardjono mengemukaan tujuan dari sistem peradilan pidana, adalah:[5]

  1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
  3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu yang dikenal dengan istilah Integrated Crimnal Justice System.

Hagan membedakan pengetian antara “Criminal Justice Proces” dan “Criminal Justice System”. Criminal Justice Proces adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara setiap keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.[6]

Samuel Walker menegaskan, bahwa paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang berwenang dalam suatu kerangka interelasi antar aparatur penegak hukum. Lebih jauh samuel mengemukakan bahwa, pendekatan ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah membentuk upaya pembaharuan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun Amerika Serikat. Upaya ini antara lain:[7]

  1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan
  2. Mengembangkan kordinasi antara berbagai komponen peradilan pidana
  3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum.

Muladi menegaskan bahwa makna “Integrated Criminal Justice System” adalah singkronisasi atau kesempatan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:[8]

  1. Sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah keserampakan dan keselerasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegakan hukum.
  2. Sinkronisasi substansi (substantial syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
  3. Sinkronisasi kultural (cultural sycronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sistem peradilan pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan hukum. Jadi pada hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”, karena “kekuasaan kehakiman “ pada dasarnya merupakan “kekuasaan/ kewenangan menegakkan hukum” [9]. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sistem peradilan (atau sistem penegakan hukum, untuk selanjutnya disingkat SPH) dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai  sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen “substansi hukum” (legal substance), “struktur hukum” (legal structure), dan “budaya hukum” (legal culture).[10] Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan hukum/ terkait erat dengan tiga komponen itu, yaitu peraturan perundang-undangan, struktur atau lembaga penegak hukum, dan budaya hukum.

Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Pada prinsipnya aparat penegak hukum tersebut memilki hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (crimal justice process) yang dimulai dari proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan, dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri .dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan. Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.

[1] Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007). Hlm. 35.

[2] Ibid,  Hlm. 38.

[3] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), Hlm. 33.

[4] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit., Hlm.14.

[5] Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato pengukuhan penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Ibid.

[6] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm. 36.

[7] Ibid

[8] Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994), Hlm. 30.

[9] Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011). Hlm. 2-3.

[10] Ibid, Hlm.2.

Makna Perlindungan Konsumen

 Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK telah memberikan cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Definisi Konsumen

Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. ada juga yang mengartikan ” setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).

Az Nasution didalam bukunya memberikan batasan tentang konsumen pada umumnya adalah : “setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu”.  Konsumen masih dibedakan lagi antara konsumen dengan konsumen akhir. Menurutnya yang dimaksud dengan konsumen antara adalah : “Setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk dipergunakan dengan tujuan membuat barang dan jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdaganggkan.

Definisi Pelaku Usaha

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian apa yang dimaksud dengan pelaku usaha, seperti tercantum dalam Pasal 1 ayat 3, Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sedangkan didalam penjelasannya yang termasuk pelaku usaha, UUPK menyebut perusahaan, korporasi, BUMN, koprasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam undang-undang ini luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir.

Asas Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas perlindungan konsumen yaitu:

1. Asas Manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya

 2. Asas Keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UUPK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas Keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian Hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kenyamanan, dan keselamtan konsumen.
  7. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999, yakni:

Pasal 4

Hak konsumen adalah :

  1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban Konsumen diatur dalam Pasal 5, yakni:

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah :

  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6:

Hak pelaku usaha adalah :

  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Pasal 7:

Kewajiban pelaku usaha adalah :

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Oleh Pelaku Usaha

Selain terdapat hak dan kewajiban dalam hal perlindungan terhadap perlindungan konsumen, sebagai seorang pelaku usaha, telah ditetapkan tentang perbuatan yang dilarang dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut;

  1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
  2. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  4. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  5. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
  6. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  8. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
  9. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
  10. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
  11. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  12. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  13. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Penyelesaian Sengketa

Dalam hal perlindungan konsumen apabila terjadi suatu sengketa, dalam UUPK telah diatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Pasal 45. Dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:

  1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
  3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
  4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak.

  Badan Penyelesaian Sengketa konsumen (BPSK)

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:

Pasal 52

  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
  2. mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  3. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  4. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  5. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
  6. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  7. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  8. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  9. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
  10. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  11. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
  12. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
  13. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  14. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Model Aternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelessaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

1. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam  UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black’s Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah :

Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject.

Dari rumusan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.

Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

2.Negosiasi:

Negosiasi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa secara kompromi (kooperatif antar pihak) dengan tujuan pemecahan masalah bersama. Alternative penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:

  1. negosiasi memberi peluang yang sangat luas bagi para pihak untuk menentukan pilihan-pilihannya
  2. Tidak bergantung pada norma hukum tertulis
  3. Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk bisa menang secara bersama-sama.
  4. semua pihak memperoleh kesempatan untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam proses negosiasi.

Sedangkan yang menjadi kelemahan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga negosiasi ini, yakni diantaranya adalah:

  1. Tidak ada kepercayaaan antara para pihak yang bersengketa dalam menyelesaiakan suatu sengketa tertentu.
  2. Dalam negosiasi seringkali yang terjadi adalah tidak ada satu upaya pun untuk mencoba saling mendengarkan kehendak dan keinginan masing-masing pihak yang sedang pihak.
  3. Mediasi:

 

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan konflik atau sengketa di mana pihak luar atau pihak ketiga  yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa atau konflik untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:

  1. Keputusan yang hemat
  2. Penyelesaian secara cepat
  3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak
  4. Kesepakatan yang komprehensif
  5. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan
  6. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada proses mediasi terletak pada kekuatan eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai dengan cara suka rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang suka rela pula. Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para pihak yang benar-benar secara suka rela menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan demikian, mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama proses mediasi pun tetap secara suka rela harus diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

3.Konsoliasi

UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30  Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untukuntuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.

4. Arbitrase

Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini adalah diantaranya, yaitu:

  1. Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
  2. Dapat dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan kerena hal procedural dan administratif
  3. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tampat penyelenggaraan arbitrase.

Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui Lembaga arbitrase ini adalah bahwa lembaga arbitrase tidak memilikii kekuatan  eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.

Berbagai Kelamahan Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki beberapa kelemahan substansial, yakni diantaranya adalah:

1.Nama perundang-undangan

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak mengatur tentang lembaga arbitrase, sedangkan untuk alternative penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli) tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak mencerminkan isi dari Undang-undang ini. Sehingga kedepannya pembentuk Undang-undang lebih memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai dengan substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa yang akan datang.

2.Syarat pengangkatan arbiter

Persyaratan Arbriter diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa:

  • Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
  1. Cakap melakukan tindakan hukum;
  2. Berumur paling rendah 35 tahun;
  3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
  4. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
  5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 5 Tahun.
  • Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.

Dalam kaitannya dengan syarat-syarat untuk menjadi arbiter sebagaimana diatur pada Pasal 12 (e) tidak ada ratio logisnya penentuan 15 tahun pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya. Ada tiga persoalan disini, yakni: pertama ,penentuan 15 tahun dihitung dari mana dan apakah 15 tahun itu berlangsung secara terus menerus? Kedua, siapa yang berkompeten dalam menilai adanya pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya tersebut? Ketiga, apakah semata-mata berdasarkan penilaian atau harus dibuktikan melalui sertifikasi keahlian yang diterbitkan oleh asosiasi profesi atau lembaga yang kompetensi?

Seharusnya kriteria semacam itu lebih rinci sehingga memberikan kepastian hukum sebagaimana dapat dilihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang tersebut telah mengatur secara rinci mengenai persyaratan menjadi advokat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tersebut.

3.Pengaturan Mediasi

Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Namun, ayat selanjutnya, yakni ayat (4), menyatakan apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator?

4.Hak ingkar

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hak ingkar diatur dalam Pasal  22 sampai dengan Pasal 26.  Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Permasalahan berkaitan dengan hak ingkar pada dasarnya adalah bahwa Hak ingkar bisa dijadikan sebagai sarana bagi pihak yang beritikad buruk untuk menunda putusan. Dengan demikian, seyogyanya peluang hak ingkar ini dipersempit dengan menegaskan bahwa hak ingkar dapat dilakukan jika memang sudah terbukti bahwa arbiriter berada dalam posisi yang tidak  netral.

5.Arbitrase On-line

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa belum ada ketentuan yang mengatur arbitrase on-line. Hal ini menjadi permasalahan karena pada saat ini perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik  (e-commerce)  mengalami perkembangan yang pesat. Dalam hal ini kedepannya perlu diatur mekanisme arbitrase on-line antara lain dengan memanfaatkan teknologi teleconference atau videoconference.

PENDAHULUAN

Apakah yang terpikir di kepala kita saat pertama kali mendengar kata “adil”. Jawabannya bisa bermacam-macam, tergantung siapa yang menjawabnya. Seorang pakar ekonomi akan menafsirkan kata adil berbeda dengan seorang ahli psikologi misalnya. Seorang ahli ekonomi saat menafsirkan kata adil mungkin akan berorientasi pada suatu keadilan secara materi. Berbeda dengan seorang ahli psikologi yang memaknai arti dari suatu keadilan tentunya akan sangat bergantung kepada bagaimana setiap individu tersebut merasakan keadilan dalam dirinya.

Lalu apa pengertian adil itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil dapat diartikan sama berat, atau tidak memihak. Dapat juga diartikan tidak sewenang-wenang, atau berpegang pada yang benar. Apabila dipersempit kepada arah hukum, maka keadilan tersebut bisa disebut justice. Dalam hubungannya dengan keputusan hakim, keadilan dapat berarti berpihak kepada yang benar atau berpegang pada kebenaran. Mendefinisikan adil sendiri sesungguhnya akan memakan waktu yang sangat panjang, karena adil itu, seperti yang telah disebut sebelumnya, sangat tergantung kepada siapa yang menerjemahkannya. Penulis sendiri dalam menerjemahkan kata adil, memiliki pandangannya sendiri, adil adalah proporsional, atau dengan kata lain sesuai dengan tempatnya, sesuai dengan wadahnya. Menurut penulis kata inilah yang paling tepat untuk menjelaskan arti dari kata adil tersebut.

Dalam Ilmu Hukum, adil adalah sesuatu yang hendak dicapai oleh hukum. Tujuan dari hukum adalah suatu keadilan. Walaupun selalu muncul perdebatan dalam aliran positivisme bahwa tujuan hukum sesungguhnya adalah suatu kepastian. Tetapi pada dasarnya seseorang mencari perlindungan kepada hukum adalah untuk mencari keadilan.

Penulis tertarik untuk membahas mengenai teori keadilan ini karena hal tersebut di atas, yakni tujuan hukum adalah keadilan. Keadilan yang bagaimanakah yang hendak dicapai oleh hukum? Apakah keadilan yang berarti sama rata, atau keadilan yang sesuai dengan keadaan sosial, budaya, atau ekonomi dari suatu hal. Karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh di dalam hukum.  Jika kemudian hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, apakah keadilan yang menjadi tujuan akhir hukum dapat ditegakkan dengan benar. Bagaimana teori keadilan yang sesungguhnya dikatakan dapat mengakomodasi hukum dengan benar. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin dibahas oleh penulis hingga memilih teori keadilan untuk dikritisi.

Esensi Teori Keadilan John Rawls

Dalam tulisan ini, yang menjadi bahan pembahasan penulis adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls, seorang profesor di Harvard University yang berasal dari tradisi empirisme Inggris. Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice, beliau mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang keadilan.

Teori keadilan Rawls, sesungguhnya terinspirasi dari hak individu Locke, kontrak sosial Rousseau, dan etika Kant. Seperti yang diketahui bahwa teori hak individu Locke menjelaskan tentang hak dasar dari seorang manusia secara individu adalah hak untuk hidup dan mempertahankan diri. Locke meneliti tentang keadaan masyarakat yang terbelenggu dalam sebuah ekonomi uang. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak dapat bertahan tanpa adanya suatu negara yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pribadi dari seseorang. Dengan demikian, tujuan dari suatu negara adalah untuk tetap menjamin keutuhan hak milik pribadi yang semakin lama semakin besar. Bukan untuk mengontrol pertumbuhan hak milik pribadi.

Kemudian teori kedua yang menginspirasi John Rawls adalah kontrak sosial yang dicetuskan oleh Jean Jacques Rosseau. Rosseau menyatakan bahwa seorang manusia sesungguhnya adalah merdeka, bebas dan memiliki kepentingan individu. Mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang lepas dari kepentingan orang lain, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya mereka juga tidak dapat melepaskan dirinya dari orang lain. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai suatu kesatuan masyarakat. Untuk kemudian menjalani kehidupan bersama di mana terjaminnya hak-hak individu dan juga hak bersama, maka kemudian sekelompok orang itu melakukan sebuah perjanjian bersama yang kemudian disebut sebagai contract sosial, untuk menjamin dan menjaga kepentingan bersama. Dengan kata lain perlu adanya suatu kerjasama antara tiap individu yang berbeda status dan tingkat kebutuhannya untuk menjamin kepentingan dan kelangsungan hidup bersama.

Teori ketiga yang mempengaruhi John Rawls dalam menciptakan teori keadilannya adalah etika Kant yang dicetuskan oleh Immanuel Kant. Kant menyebutkan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi suatu etika, yakni otonomy, categorial imperative dan rasionality. Otonomy adalah kehendak pribadi yang keluar secara spontan, tanpa dipengaruhi oleh ketentuan hukum, adat istiadat, perasaan pribadi, maupun sopan santun. Imperial kategori yang disebutkan oleh Kant berarti sebuah perintah atau kewajiban tanpa syarat. Atau dengan kata lain suatu perintah yang harus dijalankan oleh seseorang karena memang seseorang tersebut merasa harus melakukannya, bukan karena dipaksa. Jelasnya dalam etika Kant, yang dimaksud etis adalah melakukan kehendak baik tanpa pembatasan karen semata-mata ingin memenuhi kewajiban.

Dengan berdasar pada ketiga teori di atas, John Rawls dalam teori keadilannya ingin mempertahankan hak individu milik Locke, kemauan hidup bersama demi kepentingan bersama milik Rosseau, dan kemauan untuk berbuat baik tanpa paksaan seperti yang diajarkan oleh Kant.

Berdasar pada kerangka teori di atas maka Rawls menyimpulkan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau individu yang mau bersatu karena adanya suatu kepentingan bersama yang kemudian diwujudkan dalam suatu ikatan, tetapi sesungguhnya tiap individu itu tetap mempunyai pembawaan serta hak yang berbeda dan semua itu tidak dapat begitu saja dilebur dalam suatu kehidupan sosial. Hal yang kemudian dipertanyakan oleh Rawls adalah bagaimana mempertemukan setiap hak dan kemauan individu tersebut  secara selaras hingga tidak ada yang terugikan atau terabaikan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Rawls tentang keadilan. Lebih tepatnya hubungan sosial yang berkeadilan.  Dari sinilah kemudian Rawls mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip keadilan seperti yang dicetuskannya

Menurut Rawls, keadilan adalah suatu kejujuran. Agar supaya hubungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilaksanakan, maka hubungan tersebut harus berjalan seperti dua prinsip yang telah dirumuskan. Pertama adalah prinsip bahwa setiap orang memilik kebebasan yang sama, kebebasan tersebut antara lain adalah kebebasan politik, kebebasan berpikir, kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, kebebasan personal, dan kebebasan untuk memiliki kekayaan. Prinsip yang kedua adalah prinsip ketidaksamaan, dalam arti, bahwa ketidaksamaan yang ada dalam manusia haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut dapat sama-sama menguntungkan, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung, dan melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang. Arti dari prinsip ini adalah Rawls tidak mengharuskan semua orang berkedudukan sama, tetapi bagaimana caranya agar ketidaksamaan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan saling menguntungkan dan membutuhkan di antara mereka.

 Kemudian, keadilan seperti apakah yang sesungguhnya diinginkan oleh Rawls. Menurut Rawls, manusia sesungguhnya memiliki dua sifat, yakni cinta pada kepentingannya sendiri dan juga rasional. Cinta pada kepentingan sendiri berarti bahwa sesungguhnya manusia itu akan melakukan sesuatu berdasar pada kepentingannya, entah itu kepentingan ekonomi, keluarga, agama ataupun negara. Yang kedua adalah rasional, yang dimaksud rasional di sini adalah bahwa mereka sadar dan tahu pasti tentang kepentingannya dan konsekuensi apa yang bisa didapatkan , selain itu manusia juga tidak mau menerima suatu pendapat begitu saja tanpa adanya dasar atau fakta yang jelas, ini membuat manusia selalu ingin tahu dan mencari kebenaran.

Permasalahannya adalah bagaimana orang mau menerima prinsip keadilan yang disebut fairness ini apabila mereka sesungguhnya memiliki sifat cinta kepentingan dan juga rasional. Menurut Rawls, untuk menerima suatu prinsip keadilan maka setiap orang harus diposisikan pada pada situasi yang sama, baik dalam kekuatan maupun kemampuan. Bagaimana caranya? Setiap individu harus diasumsikan sebagai orang yang sama-sama tidak tahu kedudukannya, status sosial dalam masyarakat , distribusi kekayaan, bahkan tidak boleh tahu kemampuan alamiah yang ada dalam dirinya, bakat alami, kecenderungan psikologis, dan sebagainya, yang kemudian disebut John Rawls sebagai “tabir ketidaktahuan”. Yang harus diketahui hanyalah cita-cita untuk ambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip keadilan sebagai fairness. Dengan apa yang dikemukakan oleh Rawls tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap manusia akan berangkat dari pengetahuan yang sama, yakni sebuah pengetahuan tentang ketidaktahuan. Hal ini menjadikan seseorang tidak akan berusaha untuk mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang memang sebaiknya didapatkan dan telah diatur. Apabila kemudian seseorang itu beruntung dan memiliki lebih dari apa yang seharusnya didapatkan, prinsip kedua tentang ketidaksamaan berlaku. Yakni orang yang beruntung tersebut harus membantu orang yang tidak beruntung.

Teori keadilan yang disampaikan oleh John Rawls ini sebenarnya adalah sebuah gagasan tentang keadilan yang baru, yang mana berdasarkan pada fairness tetapi teori Rawls ini sendiri bukan berarti seluruhnya baik dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

 Jika melihat kembali, John Rawls menyebutkan ciri khas manusia dalam dua hal, yakni cinta pada kepentingannya sendiri dan juga rasional. Seperti yang juga telah disebutkan sebelumnya, yang diamksud dengan rasional di sini adalah mereka selalu ingin tahu dan mencari tahu tentang segala hal yang terjadi, tentang segala kebenaran dan fakta-fakta yang ada, pada intinya manusia sadar betul akan keberadaannya.

Namun di lain sisi, John Rawls justru mengungkapkan mengenai keadilan yang hanya dapat dicapai dengan cara membuat masyarakatnya tidak tahu apa-apa. Padahal Rawls sendiri telah mengungkapkan dengan jelas, bahwa manusia adalah rasional, selalu berusaha mencari keadilan. Jika kemudian teori mengenai tabir ketidaktahuan Rwls diberlakukan, maka sesungguhnya hal tersebut menentang dan menyalahi apa yang telah ditulis sendiri oleh Rawls. Di satu sisi, Rawls mengakui bahwa manusia selalu rasional dan mencari kebenaran, tetapi di sisi lain lagi, rawls justru menyebutkan bahwa dengan membuat manusia atau masyakat tidak tahu mengenai siapa dirinya, potensinya, dan kekuatannya, secara otomatis Rawls telah menyanggah pendapatnya sendiri mengenai manusia sebagai makhluk yang rasional.

Di sinilah letak salah satu kelemahan dari teori keadilan Rawls. Pendapat Rawls mengenai ciri khas manusia justru sesungguhnya tidak cocok dengan teorinya mengenai tabir ketidaktahuan.

Hal ini juga diungkapkan oleh Robert Paul Wolff yang merupakan seorang ahli filsafat. Apa yang diungkapkan oleh Rawls sesungguhnya tidak dapat diterima oleh nalar filsafat ilmu pengetahuan. Robert Paul Wolff mengungkapkan bahwa dari segi teknis apa yang dikatakan oleh Rawls tidak masuk akal. Bagaimana mungkin masyarakat yang diasumsikan rasional, yang harus tahu benar tentang kepentingan dirinya, kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat tapi tidak boleh tahu tentang dirinya sendiri. Kritikan ini ditulis oleh Robert Paul Wolff dalam bukunya yang berjudul Understanding Rawls, A reconstruction and critic of A theory of justice. Wolff bahkan secara ekstrim mengungkapkan bahwa dengan tabir ketidaktahuan, berarti membuat seseorang tidak tahu tujuan hidupnya bahkan jenis kelaminnya sendiri.

Selain itu, sesungguhnya keadilan seperti apakah yang diinginkan oleh Rawls, apakah dengan membuat tabir ketidaktahuan dan membuat semua orang tidak mengerti tentang dirinya, keadilan itu benar-benar dapat tercapai. Sesungguhnya apa yang disebut dengan keadilan tersebut. Seperti yang telah diungkap pada bagian pendahuluan, keadilan itu relatif, tergantung pada siapa yang mengartikan dan menggunakannya. Tetapi pada intinya, keadilan itu selalu berakhir pada maslah baik dan buruk. Adil berarti hasil dari suatu perbuatan itu baik, tidak adil jika hasil dari suatu perbuatan itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Jika kita melihat lagi apa yang ditulis oleh John Rawls, sesungguhnya yang dimaksud adil olehnya tidaklah bermuara pada baik dan buruk melainkan bersumber pada apa yang disebut kebebasan. Hal ini terbukti dari cara Rawls mengungkapkan tabir ketidaktahuan. Hal tersebut bukan untuk membuat suatu keadilan dalam masyarakat, melainkan justru untuk mengekan masyarakat itu sendiri, yang mana pada intinya membatasi kebebasan masyarakat. Kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kebebasan yang berlebihan, melainkan kebebasan untuk mendapatkan informasi, kebebasan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan manusia untuk bertahan hidup, dan juga kebebasan untuk melakukan komunikasi dengan dunia luar.

 Dalam salah satu asas pemerintahan, terdapat suatu aturan bahwa seorang warga negara berhak untuk mengetahui apa yang terjadi dengan negaranya, keadaan sekitarnya dan keadaan dirinya sendiri. Justru dengan membuat masyarakat tidak mengerti akan keadaan dirinya atau negaranya adalah sesuatu yang salah. Telah disebutkan bahwa Rawls juga mengakui tiap manusia memiliki kepentingan individu, maka untuk memenuhi kepentingan individu tersebut tentu saja masyarakat berhak tau tentang apa yang sesungguhnya menjadi kepentingannya dan mana yang bukan kepentingannya.

Rawls juga menyetujui teori Rosseau tentang kontrak sosial dan harus saling menghormati antara satu dengan yang lainnya supaya tidak terjadi bentrokan. Rawls juga mencetuskan prinsip ketidaksamaan di mana orang yang tidak beruntung harus mendapat bantuan dari yang lebih beruntung. Bagaimana masyarakat mengerti bahwa dirinya harus membantu orang yang tidak beruntung jika dirinya dibuat tidak mengetahui apapun. Ini merupakan salah satu kelemahan teori tabir ketidaktahuan yang dicetuskan oleh Rawls.

Hal lain yang kurang dari teori rawls adalah kecenderungan Rawls untuk membicarakan mengenai distribusi kekayaan. Sama dengan yang telah disebutkan sebelumnya, rawls juga mnyebutkan tentang prinsip ketidaksamaan, di mana setiap orang yang jauh lebih beruntung secara ekonomi, maka diwajibkan untuk membantu orang yang kurang beruntung. Di sini jelas bahwa Rawls juga melihat keadilan “miliknya” berdasar pada faktor ekonomi atau kekayaan belaka.

Pernyataan di atas didukung oleh Wallance Matson. Dia melihat keadilan Rawls lebih banyak berorientasi pada kebebasan dan juga lebih banyak berbicara mengenai distribusi kekayaan.

Yang terakhir yang kurang tepat dari bahasan Rawls adalah, dia menyebutkan bahwa keluarga adalah lembaga paling utama yang paling tepat untuk mengajarkan keadilan. Pernyataan ini tidak salah, tetapi harus dijelaskan lebih lanjut, keluarga seperti apa yang dimaksudkan di sini. Jika keluarga tersebut adalah keluarga harmonis yang memang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebaikan, tentunya tidak menjadi masalah. Tetapi bagaimana jika kemudian keluarga tersebut adalah sebuah keluarga yang terbiasa hidup dengan tradisi yang keras, di mana kekerasan adalah hal biasa dalam suatu keluarga. Dalam keluarga yang seperti ini, keadilan sulit sekali untuk diajarkan. Pernyataan mengenai keluarga tersebut adalah sebuah kritikan terhadap Rawls, di mana dia sebaiknya juga melihat aspek-aspek empiris yang terjadi di masyarakat. Tidak hanya mengeluarkan teori-teori atau kesimpulan belaka.

KESIMPULAN

Lagi-lagi menyinggung tentang makna keadilan seperti yang telah disebutkan dalam pembukaan dan bagian akhir analisis. Apabila ingin memaknai keadilan dengan seragam sesungguhnya adalah hal yang hampir tidak mungkin. Seperti John rawls misalnya. Dia mencoba mengartikan keadilan menurut versinya, yakni keadilan yang dekat dengan kebebasan. Tapi justru keadilan jenis ini sulit sekali untuk diaplikasikan dengan benar pada kehidupan masyarakat. Selain itu seharusnya keadilan bersinggungan dengn baik dan buruk, namun Rawls justru membuat pengertian bahwa keadilan bersinggungan dengan kebebasan.

Apa yang dikemukakan Rawls tidak salah, hanya caranya memaknai keadilan itu yang berbeda daripada apa yang dimengerti banyak orang tentang keadilan. Teori mengenai tabir ketidaktahuan juga sesungguhnya kurang tepat jika disebut cara untuk menegakkan keadilan. Hal ini lebih tepat jika disebut pembatasan gerak terhadap masyarakat mengenai apa yang seharusnya justru diketahui oleh setiap individu.

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Ghofur Anshori. 2006. Filsafat Hukum, Sejarah Aliran dan Pemaknaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Rawls John. A theory of Justice. Electronic book

http://www.scribd.com/doc/21206290/Teori-Keadilan-John-Rawls

http://en.wikipedia.org/wiki/A_Theory_of_Justice