Archive for the ‘Hukum Pidana’ Category

Pengertian Hukum Pidana

Posted: 31 Maret 2015 in Hukum Pidana
Tag:

Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Hazewinkel-Suringa

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.[1]

  1. L.G. Lemaire

Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.[2]

  1. F.C. Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.[3]

  1. Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[4]
  4. Adami Chazawi

Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

  1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
  2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;
  3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha me-lindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.[5]

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur tentang:

  1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
  2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
  3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
  4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.
  5. Tujuan/Fungsi Hukum Pidana

Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat[6]. Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung, kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika me-nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dikenakan kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial.[7]

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat dipidana[8]. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.[9]

Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.[10]

  1. Pembagian Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:

  1. Hukum Pidana Objektif Dan Hukum Pidana Subjektif (Ius Poenale Dan Ius Puniendi)

Hukum Pidana Objektif adalah hukum pidana yg berisi larangan dan ancaman pidana  bagi siapa yg melanggar larangan tersebut. Dengan kata lain hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sedangkan Hukum Pidana Subjektif adalah aturan mengenai hak atau kewenangan negara dibidang hukum pidana, yakni meliputi: (a) untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum; (b) untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; serta (c) untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.[11]

  1. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil

Menurut van Hattum:

  1. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
  2. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.[12]
  3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)
  4. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
  5. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang didalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
  6. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel)
  7. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;
  8. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
  9. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht)

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.[13]

  1. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan Pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.

  1. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk strafrecht)

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana nasional[14]. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.[15]

Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[16]

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana supranasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

  1. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
  2. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.[17]
  3. Sumber Hukum Pidana

Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:[18]

  1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis

Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah KUHP. KUHP  merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya.

  1. Hukum pidana adat

Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.

  1. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)

M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal 1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1[19] ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan didalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis (UU) sebagai kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam undang-undang.[20]

 Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[21]

[1] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Hal. 4.

[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), Hal. 1-2.

[3] Ibid, Hal. 2.

[4] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (1982), Hal. 1.

[5] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Hal. 2.

[6] Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Hal.23.

[7] Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 14-15.

[8] J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1979), Hal. 55.

[9] Andi Hamzah, Op.Cit., Hal. 9 -10.

[10] Ibid, Hal. 10.

[11] Adami Chazawi, Op.Cit., Hal. 9 -10.

[12] P.A.F. Lamintang, Op.cit., Hal. 10.

[13] Ibid, Hal. 11.

[14] Ibid, Hal. 12.

[15] Adami Chazawi, Op.Cit. Hal. 13.

[16] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., Hal. 12.

[17] Adami Chazawi, Op.Cit., Hal. 14.

[18] Sudarto, Op.Cit., Hal. 15 -19.

[19] Pasal 1 Konsep KUHP Baru berbunyi:

  • Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
  • Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berla-kunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  • Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prin-sip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

[20] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), Hal. 73-74.

[21] Penjelasan Buku I angka 3 Konsep KUHP Baru Tahun 2008