POLITIK HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA

Posted: 19 Oktober 2015 in Hukum Sumber Daya Alam
Tag:

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, dari minyak bumi hingga emas, batubara, perak, dan tembaga. Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan ini menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan kepada dunia. Namun kebanggaan itu dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat karena sumberdaya alam merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui, sehingga lambat laun akan habis.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsepsi “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai sebagai “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas, kepemilikan dalam pengertian hukum publik yang tentunya berfungsi sebagai sumber bagi pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan air tidak hanya dipahami dalam pengertian penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Dengan dikuasai oleh Negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.[1] Hal tersebut memberikan kewenangan bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah

Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan dan dikelola dengan berasaskan keberpihakan pada kepentingan bangsa dan keseimbangan (kesatuan ekonomi), selain dengan asas manfaat, efisiensi berkeadilan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[2]

Dalam prakteknya, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, terkadang telah menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tentunya hal-hal tersebut dapat menggganggu tujuan pengelolaan kegiatan pertambangan itu sendiri, yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akhir tahun 2011 dihiasi dengan mencuatnya konflik dan kekerasan yang terjadi di Mesuji dan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Fenomena konflik sosial politik di Indonesia sejak masa reformasi menunjukkan intensitas yang semakin tinggi. Sejak 2006 hingga 2009, sejumlah kasus menumpuk dan tak pernah terselesaikan. Bahkan selalu berakhir konflik dan kekerasan. Sepanjang 2011, Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Jumlah itu meningkat 35% dari tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik.[3]

Kendati konflik terus meningkat, upaya-upaya serius pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang ada masih belum menunjukkan langkah yang serius, bahkan cendrung seperti sengaja dipelihara. Para pengusaha  cenderung berlindung dibalik penegakan hukum yang buruk. Masyarakat yang menjadi korban konflik tidak memiliki pijakan dan mekanisme yang mendukung mereka dalam penyelesaian konflik sumber daya alam.

Fakta yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal  menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi.

Tulisan ini mencoba untuk melihat Relevansi antara politik hukum pengelolaan sumber daya alam dan implikasi Konflik yang ditimbulkan dari politik hukum pengelolaan sumber daya alam  yang ada saat ini di Indonesia

Potret Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia

Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.[4] Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, tentunya politik hukum akan menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara, dengan syarat tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Output dari kesemuanya itu adalah diarahkan dalam rangka mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.

Politik hukum nasional Indonesia didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, disamping itu juga bersumber pada hukum lain dengan syarat tidak bertentangan dengan jiwa pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dengan model pendekatan seperti itu dapat mempertahankan identitas hukum nasional dan secaara bersamaan mengakomodasi budaya hukum lain yang baik, dan diharapkan dapat membantu mempercepat proses pembangunan sistem hukum nasional itu sendiri.

Politik hukum nasional pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Hak menguasai Negara pada dasarnya merupakan cerminan dari implementasi nilai, norma, dan konfigurasi hukum Negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberikan otoritas dan ligitimasi kepada Negara untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya.[5]

Namun demikian, selama kurun waktu lebih dari tiga dasa warsa terakhir ini telah terjadi manipulasi interpretasi oleh pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan Negara terhadap konsepsi “hak menguasai Negara”. Yaitu:[6]

Pertama, pemerintah telah memberikan interpretasi sempit dan tunggal atas terminilogi Negara (state). Negara semata-mata diinterpretasikan sebagai pemerintah saja, bukan pemerintah (government) dan rakyat (people) sebagaimana dimaksud dalam terminology negara dalam UUD 1945. Pengertian Negara mempunyai empat komponen pokok, yaitu wilayah (territory), rakyat (people), pemerintah (government) serta kedaulatan (souvereignity). Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam konteks penyelenggaraan Negara berada pada posisi yang sama, bukan dalam hubungan yang bersifat super-subordinasi atau hubungan yang bercorak atasan (superior) dan bawahan (inferior).

Kedua, implikasi dari manipulasi interpretasi Negara seperti ini, diciptakannya relasi yang bercorak super-subordinasi antara pemerintah dengan rakyat. Dalam konteks ini, rakyat diposisikan sebagai subordinasi yang bersifat bawahan (inferior), sedangkan pemerintah berada pada posisi superordinasi yang memiliki peran sebagai atasan (superior).

Ketiga, pengejawantahan dari pola hubungan supersubordinasi antara pemerintah dengan rakyat seperti yang dimaksud tercermin dari pilihan paradigm pembangunan yang digunakan, yaitu pembangunan yang didominasi pemerintah (government dominated development), bukan pembangunan yang berbasis Negara (state based development). Untuk mendukung dan mengamankan paradigma pembangunan tersebut, pemerintah menciptakan instrument hukum yang bermakna hukum pemerintah (government law) atau lebih dikenal dengan hukum birokrasi (bureaucratic law).

Instrument hukum tersebut, antara lain: (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bagian kedua Pasal 203 ayat (2) meletakkan hak-hak masyarakat adat dalam posisi yang subordinatif dibawah peraturan daerah dan peraturan pemerintah. Pasal 203 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pemilihan kepada desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.”

Dari instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang dibuat oleh Negara  mengabaikan dan menggusur keberadaan system lain yang hidup dalam masyarakat, seperti hukum adat dalam komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, konstruksi hukum yang dikembangkan oleh Negara dalam kebijakan dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia lebih bercorak hukum represif (repressive law).

Konstruksi Hukum represif dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia paling tidak memiliki ciri-ciri (1) hak-hak masyarakat dirumuskan secara ambiguitas, disatu sisi diakui keberadaannya, tetapi disisi yang lain dibatasi secara mutlak dan bahkan secara eksplisit diabaikan keberadaannya, (2) dicantumkannya stigma-stigma kriminologis untuk menggusur keberadaan masyarakat atas sumber daya alam dengan lebel perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, penambangan tanpa izin, perumput liar, perusak hutan, dan lain-lain, dan (3) mengedepankan penampilan aparat-aparat hukum dengan pendekatan keamanan (security approach).

Implikasi dari konstruksi hukum represif dalam kebijakan di bidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia , menyebabkan terjadinya viktimisasi dan dehumanisasi masyarakat adat, munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tergusur, terabaikan, atau termarginalisasikan sebagai korban kebijakan pembangunan dan, disisi lain, terjadi kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi sumber daya alam untuk mengejar pertumbungan ekonomi (economic growth development).

Kongkritisasi dari konstruksi hukum represif dalam membingkai kebijakan di bidang hukum pengelolaan sumber daya alam adalah pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal  menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi.

Dalam undang-undang diatur mengenai hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam  selalu disertai  tambahan kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” atau “sepanjang masih ada dan diakui” dan seterusnya. Dengan cara inilah pemerintah menjalankan politik hukum pengabaikan atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berlaku di Masyarakat.[7]

Kebijakan pemerintah dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia memperlihatkan adanya sifat ambiguitas dari pemerintah. Di satu sisi mengakui disisi yang lain membatasi dan bahkan dalam beberapa peraturan diartikan sebagai “pembekuan” hak-hak masyarakat adat. Ini merupakan cerminan dari karakter hukum Negara yang sentralistik sehingga cenderung mendominasi keberadaan sistem-sistem normatif yang hidup dalam masyarakat. Kondisi inilah yang membangkitkan resistensi masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air, khususnya di luar Jawa. Apabila ini terus dilakukan pada gilirannya akan menimbulkan persoalan bagi integrasi Negara kesatuan RI.

Bentuk Politik Hukum Yang Tepat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Masa Mendatang

Pada prinsipnya Pengelolaan sumber daya alam seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD 1945  Pasal 33 ayat (3) adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan sumber daya alam lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber devisa Negara namun tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan.

Secara kritis dapat dijelaskan bahwa konsepsi pengelolaan sumber daya alam meletakkan pada paradigma yang berbasis negara. Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dicirikan dengan bentuk institusi dan kebijakannya yang sentralistik, pendekatan atas-bawah, orientasi target ekonomi, perencanaan makro dan penganggaran ketat. Kondisi ini rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mendapat keuntungan atas pengelolaan sumber daya alam ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas.

Jika ditelaah secara kritis ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka pertanyaan yang harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara primer dengan pengelolaan sumber daya alam. Masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional.

Berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, dan  Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendasarkan konsep hak mengusai Negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Pemegang hak menguasai Negara adalah pemerintah pusat, dalam praktiknya telah mengeluarkan keputusan hak pengelolaan, seperti HPH, HTI, HGU serta eksploitasi laut dan tambang pada swasta nasional atau asing ternyata berimplikasi terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia secara serius.

Sehubungan dengan persolan tersebut maka perlu dikembangkan konstruksi  tata hukum nasional berbasis pada kearifan lokal yang dapat menjamin perlindungan hak-hak masyarakat lokal atas sistem hukum, sosial, budaya, dan politik yang selama ini dikukuhinya, dengan harapan dapat mencegah dan meminimalisir konflik sumber daya alam di Indonesia. Dalam hal ini  Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri:[8]

  1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
  2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
  3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
  4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
  5. Aturan procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
  6. Responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Senada usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang telah dibukukan berjudul Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:[9]

  1. Berlandaskan pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konsttusional);
  2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.

Dalam konteks politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,  rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan otonomi daerah yang responsif dan akomodatif terhadap kearifan lokal dan pengakuan hak-hak masyarakat lokal di Indonesia. Konkretnya dapat dilakukan melalui pembentukan dan pelaksanaan Peraturan daerah (Perda) dan menghidupkan kembali hukum adat, termasuk hak ulayat yang selama ini terabaikan dan tidak mendapat pengakuan secara proporsional dalam sistem hukum nasional.

Berlakunya hukum adat atau hukum daerah dalam bentuk perda, memaknai kemerdekaan dan kebebasan tersendiri bagi individu dan masyarakat di daerah dalam melaksanakan desentralisasi dan demokrasi yang telah lama diinginkan. Pengakuan dan pemberlakukan hukum adat dan aturan daerah sebagai bagian dalam sistem hukum nasional akan dapat mencairkan persoalan hukum dan penegakan hukum yang krusial dan paling tidak memberi suatu kecerahan baru bagi tegaknya Negara hukum dan supremasi hukum.[10]

Sehubungan dengan hal tersebut I Nyoman Nurjaya[11] menyebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang mampu membentuk hukum yang baik, yang menghargai, dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan, hak-hak, dan kearifan masyarakat adat, maka harus dianut idiologi pluralisme hukum (legal pluralism) dalam pembangunan politik hukum otonomi daerah dengan memberikan ruang bagi prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan, dan pengakuan atas kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, kelembagaan, dan berbagai tradisi yang secara nyata hidup dan berkembang dalam komunitas masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia.

PENUTUP

KESIMPULAN:

  1. Potret politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dibingkai melalui kebijakan hukum represif, dimana pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi. Kondisi inilah yang membangkitkan resistensi masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air, khususnya di luar Jawa yang sering kali berujung pada konflik sumber daya alam di Indonesia.
  2. Dalam konteks politik hukum pengelolaan SDA di Indonesia, rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan SDA yang lebih baik. Politik hukum pengelolaan SDA dimasa mendatang harus menganut idiologi pluralisme hukum (legal pluralism) sehingga dapat menghargai, dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan, hak-hak, dan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

 

               [1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), Hal. 281.

               [2] Pasal 2 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

               [3] www.lampungpost.com Diakses Pada Tanggal 10 Januari 2012 [ Menilik Sumber Konflik Di Indonesia]

[4] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), Hlm. 32.

               [5] Rachmad Safa’at, Advokasi Dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa: Latar Belakang, Konsep, Dan Implementasinya, Op.cit Hal. 287

               [6] Ibid, hal. 287-289.

               [7] Ibid, Hal. 290.

               [8] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2000), Hal. 212.

               [9]   Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997). Hal. 297.

               [10] Fathullah, “Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat”, Kompas, Senin, 3 Juli 2000.

               [11] I Nyoman Nurjaya, Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berbasis Masyarakat Adat: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Eksistensi Hukum Adat Dan Politik Hukum Di Indonesia. Pusat Pengembangan Hukum Lingkungan Dan Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 26 Juli 2004.

Tinggalkan komentar