Arsip untuk Oktober, 2015

HUKUM PERTAMBANGAN-masrudi

Pertambangan di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, dari minyak bumi hingga emas, batubara, perak, dan tembaga. Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan ini menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan kepada dunia. Namun kebanggaan itu dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat karena sumberdaya alam merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui, sehingga lambat laun akan habis.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsepsi “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai sebagai “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas, kepemilikan dalam pengertian hukum publik yang tentunya berfungsi sebagai sumber bagi pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan air tidak hanya dipahami dalam pengertian penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Dengan dikuasai oleh Negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.[1] Hal tersebut memberikan kewenangan bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Dalam konteks ini, mineral dan batu bara yang merupakan bagian dari kekayaan alam yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengelolaan mineral dan batu bara dilakukan melalui kegiatan pertambangan yang harus dikelola dengan berasaskan keberpihakan pada kepentingan bangsa dan keseimbangan (kesatuan ekonomi), selain dengan asas manfaat, efisiensi berkeadilan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[2]

Politik Hukum Pertambangan

Dari perspektif yuridis historis, politik hukum pertambangan dimulai ketika pemerintah mengeluarkan UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No11/1967. Dalam UU Pertambangan dinyatakan bahwa segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UU Pokok Pertambangan membagi bahan galian menjadi tiga golongan. Pertama, bahan galian golongan A atau strategis, seperti migas, batubara, dan timah. Kedua, bahan galian golongan B atau vital, seperti emas, tembaga, intan. Ketiga, bahan galian golongan C atau bukan strategis dan bukan pula vital, seperti batu granit dan pasir.

Pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk bahan galian strategis dan vital dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan. Sementara untuk bahan galian yang strategis dan tidak vital dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

Sejak adanya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional saat itu, telah terjadi perkembangan pemikiran kritis terhadap peran sumber daya alam terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mencapai puncaknya pada gerakan reformasi politik, hukum dan ekonomi pada tahun 2000-an.

Setelah lebih dari 40 Tahun eksistensi Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 dirasakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kegiatan pertambangan di Indonesia. Salah satu isu yang paling utama adalah minimnya kontribusi manfaat yang diperoleh masyarakat dari sektor pertambangan. Jika merujuk kembali pada Pasal 33 ayat (3) maka Penguasaan SDA seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan rakyat.

Salah satu yang dianggap sebagai titik lemah dari UU Pertambangan yang lama adalah pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang didasarkan pada Kontrak Karya memberikan kedudukan yang kurang menguntungkan bagi Negara dalam memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan. Adapun latar belakang pengaturan sistem Kontrak Karya pada awal kebijakan pertambangan pada tahun 1967 adalah sebagai upaya pemerintah dalam mendatangkan capital (modal) untuk melakukan pembangunan melalui sektor pertambangan dengan cara memberikan kontrak karya bagi pelaku usaha yang hendak melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia.

Dengan semakin kuatnya perekonomian nasional dan meningkatnya kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk mengembangkan kegiatan usaha pertambangan maka tuntutan perubahan kebijakan pengaturan kegiatan pertambangan telah menjadi agenda utama selama proses reformasi di bidang ekonomi dan hukum disertai dengan gerakan otonomi daerah untuk memberikan peranan yang lebih besar pada daerah saat itu. Sebagai bentuk penguatan lembaga negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan maka konsep perizinan yang menggantikan rejim kontrak diharapkan dapat memberikan posisi tawar yang lebih baik bagi pemerintah yang pada akhirnya diyakini dapat meningkatkan nilai manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

UU Minerba

Dinamika perkembangan politik hukum pertambangan terjadi pada tahun 2009 ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967).

Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya sebagai bentuk hukum perjanjian menjadi sistem perizinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara.

Secara umum, Undang-undang Minerba yang baru memuat pokok-pokok sebagai berikut:[3]

  1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
  2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia khususnya pengusaha lokal, koperasi, perseorangan, BUMN, BUMD, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
  3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.
  4. usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
  5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
  6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pelestarian lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
  7. Perubahan kedudukan Negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan dari rejim kontrak yang memberikan kedudukan negara sejajar dengan pelaku usaha swasta menjadi beralih kepada rejim perizinan yang memberikan kedudukan negara lebih tinggi dari pelaku usaha.

[1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), Hal. 281.

[2] Pasal 2 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

[3] Daud Silalahi dan Kristianto P H, Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia Pasca Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun 2009, Law Review Volume XI No. 1 – Juli 2011.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, dari minyak bumi hingga emas, batubara, perak, dan tembaga. Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan ini menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan kepada dunia. Namun kebanggaan itu dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat karena sumberdaya alam merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui, sehingga lambat laun akan habis.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsepsi “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai sebagai “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas, kepemilikan dalam pengertian hukum publik yang tentunya berfungsi sebagai sumber bagi pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan air tidak hanya dipahami dalam pengertian penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Dengan dikuasai oleh Negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.[1] Hal tersebut memberikan kewenangan bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah

Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan dan dikelola dengan berasaskan keberpihakan pada kepentingan bangsa dan keseimbangan (kesatuan ekonomi), selain dengan asas manfaat, efisiensi berkeadilan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[2]

Dalam prakteknya, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, terkadang telah menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tentunya hal-hal tersebut dapat menggganggu tujuan pengelolaan kegiatan pertambangan itu sendiri, yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akhir tahun 2011 dihiasi dengan mencuatnya konflik dan kekerasan yang terjadi di Mesuji dan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Fenomena konflik sosial politik di Indonesia sejak masa reformasi menunjukkan intensitas yang semakin tinggi. Sejak 2006 hingga 2009, sejumlah kasus menumpuk dan tak pernah terselesaikan. Bahkan selalu berakhir konflik dan kekerasan. Sepanjang 2011, Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Jumlah itu meningkat 35% dari tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik.[3]

Kendati konflik terus meningkat, upaya-upaya serius pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang ada masih belum menunjukkan langkah yang serius, bahkan cendrung seperti sengaja dipelihara. Para pengusaha  cenderung berlindung dibalik penegakan hukum yang buruk. Masyarakat yang menjadi korban konflik tidak memiliki pijakan dan mekanisme yang mendukung mereka dalam penyelesaian konflik sumber daya alam.

Fakta yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal  menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi.

Tulisan ini mencoba untuk melihat Relevansi antara politik hukum pengelolaan sumber daya alam dan implikasi Konflik yang ditimbulkan dari politik hukum pengelolaan sumber daya alam  yang ada saat ini di Indonesia

Potret Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia

Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.[4] Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, tentunya politik hukum akan menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara, dengan syarat tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Output dari kesemuanya itu adalah diarahkan dalam rangka mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.

Politik hukum nasional Indonesia didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, disamping itu juga bersumber pada hukum lain dengan syarat tidak bertentangan dengan jiwa pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dengan model pendekatan seperti itu dapat mempertahankan identitas hukum nasional dan secaara bersamaan mengakomodasi budaya hukum lain yang baik, dan diharapkan dapat membantu mempercepat proses pembangunan sistem hukum nasional itu sendiri.

Politik hukum nasional pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Hak menguasai Negara pada dasarnya merupakan cerminan dari implementasi nilai, norma, dan konfigurasi hukum Negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberikan otoritas dan ligitimasi kepada Negara untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya.[5]

Namun demikian, selama kurun waktu lebih dari tiga dasa warsa terakhir ini telah terjadi manipulasi interpretasi oleh pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan Negara terhadap konsepsi “hak menguasai Negara”. Yaitu:[6]

Pertama, pemerintah telah memberikan interpretasi sempit dan tunggal atas terminilogi Negara (state). Negara semata-mata diinterpretasikan sebagai pemerintah saja, bukan pemerintah (government) dan rakyat (people) sebagaimana dimaksud dalam terminology negara dalam UUD 1945. Pengertian Negara mempunyai empat komponen pokok, yaitu wilayah (territory), rakyat (people), pemerintah (government) serta kedaulatan (souvereignity). Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam konteks penyelenggaraan Negara berada pada posisi yang sama, bukan dalam hubungan yang bersifat super-subordinasi atau hubungan yang bercorak atasan (superior) dan bawahan (inferior).

Kedua, implikasi dari manipulasi interpretasi Negara seperti ini, diciptakannya relasi yang bercorak super-subordinasi antara pemerintah dengan rakyat. Dalam konteks ini, rakyat diposisikan sebagai subordinasi yang bersifat bawahan (inferior), sedangkan pemerintah berada pada posisi superordinasi yang memiliki peran sebagai atasan (superior).

Ketiga, pengejawantahan dari pola hubungan supersubordinasi antara pemerintah dengan rakyat seperti yang dimaksud tercermin dari pilihan paradigm pembangunan yang digunakan, yaitu pembangunan yang didominasi pemerintah (government dominated development), bukan pembangunan yang berbasis Negara (state based development). Untuk mendukung dan mengamankan paradigma pembangunan tersebut, pemerintah menciptakan instrument hukum yang bermakna hukum pemerintah (government law) atau lebih dikenal dengan hukum birokrasi (bureaucratic law).

Instrument hukum tersebut, antara lain: (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bagian kedua Pasal 203 ayat (2) meletakkan hak-hak masyarakat adat dalam posisi yang subordinatif dibawah peraturan daerah dan peraturan pemerintah. Pasal 203 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pemilihan kepada desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.”

Dari instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang dibuat oleh Negara  mengabaikan dan menggusur keberadaan system lain yang hidup dalam masyarakat, seperti hukum adat dalam komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, konstruksi hukum yang dikembangkan oleh Negara dalam kebijakan dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia lebih bercorak hukum represif (repressive law).

Konstruksi Hukum represif dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia paling tidak memiliki ciri-ciri (1) hak-hak masyarakat dirumuskan secara ambiguitas, disatu sisi diakui keberadaannya, tetapi disisi yang lain dibatasi secara mutlak dan bahkan secara eksplisit diabaikan keberadaannya, (2) dicantumkannya stigma-stigma kriminologis untuk menggusur keberadaan masyarakat atas sumber daya alam dengan lebel perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, penambangan tanpa izin, perumput liar, perusak hutan, dan lain-lain, dan (3) mengedepankan penampilan aparat-aparat hukum dengan pendekatan keamanan (security approach).

Implikasi dari konstruksi hukum represif dalam kebijakan di bidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia , menyebabkan terjadinya viktimisasi dan dehumanisasi masyarakat adat, munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tergusur, terabaikan, atau termarginalisasikan sebagai korban kebijakan pembangunan dan, disisi lain, terjadi kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi sumber daya alam untuk mengejar pertumbungan ekonomi (economic growth development).

Kongkritisasi dari konstruksi hukum represif dalam membingkai kebijakan di bidang hukum pengelolaan sumber daya alam adalah pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal  menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi.

Dalam undang-undang diatur mengenai hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam  selalu disertai  tambahan kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” atau “sepanjang masih ada dan diakui” dan seterusnya. Dengan cara inilah pemerintah menjalankan politik hukum pengabaikan atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berlaku di Masyarakat.[7]

Kebijakan pemerintah dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia memperlihatkan adanya sifat ambiguitas dari pemerintah. Di satu sisi mengakui disisi yang lain membatasi dan bahkan dalam beberapa peraturan diartikan sebagai “pembekuan” hak-hak masyarakat adat. Ini merupakan cerminan dari karakter hukum Negara yang sentralistik sehingga cenderung mendominasi keberadaan sistem-sistem normatif yang hidup dalam masyarakat. Kondisi inilah yang membangkitkan resistensi masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air, khususnya di luar Jawa. Apabila ini terus dilakukan pada gilirannya akan menimbulkan persoalan bagi integrasi Negara kesatuan RI.

Bentuk Politik Hukum Yang Tepat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Masa Mendatang

Pada prinsipnya Pengelolaan sumber daya alam seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD 1945  Pasal 33 ayat (3) adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan sumber daya alam lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber devisa Negara namun tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan.

Secara kritis dapat dijelaskan bahwa konsepsi pengelolaan sumber daya alam meletakkan pada paradigma yang berbasis negara. Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dicirikan dengan bentuk institusi dan kebijakannya yang sentralistik, pendekatan atas-bawah, orientasi target ekonomi, perencanaan makro dan penganggaran ketat. Kondisi ini rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mendapat keuntungan atas pengelolaan sumber daya alam ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas.

Jika ditelaah secara kritis ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka pertanyaan yang harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara primer dengan pengelolaan sumber daya alam. Masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional.

Berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, dan  Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendasarkan konsep hak mengusai Negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Pemegang hak menguasai Negara adalah pemerintah pusat, dalam praktiknya telah mengeluarkan keputusan hak pengelolaan, seperti HPH, HTI, HGU serta eksploitasi laut dan tambang pada swasta nasional atau asing ternyata berimplikasi terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia secara serius.

Sehubungan dengan persolan tersebut maka perlu dikembangkan konstruksi  tata hukum nasional berbasis pada kearifan lokal yang dapat menjamin perlindungan hak-hak masyarakat lokal atas sistem hukum, sosial, budaya, dan politik yang selama ini dikukuhinya, dengan harapan dapat mencegah dan meminimalisir konflik sumber daya alam di Indonesia. Dalam hal ini  Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri:[8]

  1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
  2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
  3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
  4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
  5. Aturan procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
  6. Responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Senada usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang telah dibukukan berjudul Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:[9]

  1. Berlandaskan pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konsttusional);
  2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.

Dalam konteks politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,  rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan otonomi daerah yang responsif dan akomodatif terhadap kearifan lokal dan pengakuan hak-hak masyarakat lokal di Indonesia. Konkretnya dapat dilakukan melalui pembentukan dan pelaksanaan Peraturan daerah (Perda) dan menghidupkan kembali hukum adat, termasuk hak ulayat yang selama ini terabaikan dan tidak mendapat pengakuan secara proporsional dalam sistem hukum nasional.

Berlakunya hukum adat atau hukum daerah dalam bentuk perda, memaknai kemerdekaan dan kebebasan tersendiri bagi individu dan masyarakat di daerah dalam melaksanakan desentralisasi dan demokrasi yang telah lama diinginkan. Pengakuan dan pemberlakukan hukum adat dan aturan daerah sebagai bagian dalam sistem hukum nasional akan dapat mencairkan persoalan hukum dan penegakan hukum yang krusial dan paling tidak memberi suatu kecerahan baru bagi tegaknya Negara hukum dan supremasi hukum.[10]

Sehubungan dengan hal tersebut I Nyoman Nurjaya[11] menyebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang mampu membentuk hukum yang baik, yang menghargai, dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan, hak-hak, dan kearifan masyarakat adat, maka harus dianut idiologi pluralisme hukum (legal pluralism) dalam pembangunan politik hukum otonomi daerah dengan memberikan ruang bagi prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan, dan pengakuan atas kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, kelembagaan, dan berbagai tradisi yang secara nyata hidup dan berkembang dalam komunitas masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia.

PENUTUP

KESIMPULAN:

  1. Potret politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dibingkai melalui kebijakan hukum represif, dimana pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi. Kondisi inilah yang membangkitkan resistensi masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air, khususnya di luar Jawa yang sering kali berujung pada konflik sumber daya alam di Indonesia.
  2. Dalam konteks politik hukum pengelolaan SDA di Indonesia, rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan SDA yang lebih baik. Politik hukum pengelolaan SDA dimasa mendatang harus menganut idiologi pluralisme hukum (legal pluralism) sehingga dapat menghargai, dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan, hak-hak, dan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

 

               [1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), Hal. 281.

               [2] Pasal 2 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

               [3] www.lampungpost.com Diakses Pada Tanggal 10 Januari 2012 [ Menilik Sumber Konflik Di Indonesia]

[4] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), Hlm. 32.

               [5] Rachmad Safa’at, Advokasi Dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa: Latar Belakang, Konsep, Dan Implementasinya, Op.cit Hal. 287

               [6] Ibid, hal. 287-289.

               [7] Ibid, Hal. 290.

               [8] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2000), Hal. 212.

               [9]   Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997). Hal. 297.

               [10] Fathullah, “Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat”, Kompas, Senin, 3 Juli 2000.

               [11] I Nyoman Nurjaya, Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berbasis Masyarakat Adat: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Eksistensi Hukum Adat Dan Politik Hukum Di Indonesia. Pusat Pengembangan Hukum Lingkungan Dan Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 26 Juli 2004.

Hukum SDA

 

HUKUM SUMBER DAYA ALAM

MASRUDI MUCHTAR, S.H.,M.H.

PENDAHULUAN

Sumberdaya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.

            Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.

            Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana  uraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyak kerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi  selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber Daya Alam tersebut.

 URGENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

  1. Realita hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosytem). Adapun kemampuan manusia hidup dan mempertahankan kehidupannya (survive) dalam rangka pengembaraannya dimuka bumi adalah sebagai proses pembentukan pribadi individu yang peka terhadap alam dan lingkungannya.
  2. Pemanfaatan dan pengelolaan alam dan sumber daya alam yang bijaksana bagi kepentingan manusia. Konsep konservasi pada  mencakup beberapa sektor, yaitu sektor ilmiah, sektor sosial budaya dan sektor pengolahannya. Ketiga sektor ini harus saling melengkapi mengikat satu sama lainnya. Sektor ilmiah melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian-penelitian dan pengamatan yang bersifat ilmiah, artinya kegiatan ini bersifat terbuka, terukur, sistematik nalar dan berkaitan dengan sistematik yang ada. Misalnya penelitian tentang satu jenis folra dan fauna tertentu, baik dari populasi atau habitatnya. Sektor sosial budaya dan ekonomi perlu dipahami, sebab latar belakang masyarakat berpengaruh terhadap perlindungan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati. Sektor pengolahan adalah bagaimana manusia mengelola sumber daya alam yang ada secara bijaksana.
  3. Dukungan yang mengglobal terhadap konservasi didasarkan karena penghargaan estetika, pengetahuan bahwa produk-produk yang berguna dapat saja berasal dari jenis yang belum dikenali, dan pengertian bahwa lingkungan harus menjadi fungsi biosphere yang tepat, khusunya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia akan udara, air dan tanah, yang mana saat ini mengalami degradasi yang sangat cepat.
  4. Pemanfaatan SDA berupa  tumbuhan antara lain dapat menghasilkan oksigen bagi manusia dan hewan Mengurangi polusi karena dapat menyerap karbondioksida yang dipakai tumbuhan untuk proses fotosintesis Mencegah terjadinya erosi, tanah longsor dan banjir Bahan industri, misalnya kelapa sawit bahan industri minyak goreng Bahan makanan, misalnya padi menjadi beras Bahan minuman, misalnya teh dan jahe

NILAI-NILAI  YANG TERKANDUNG DALAM  PENGELOLAAN SDA

  1. Nilai Ekologis : Setiap sumberdaya alam merupakan unsur ekosistem alam. Sebagai misal, suatu tumbuhan dapat berfungsi sebagai pelindung tata air dan kesuburan tanah. Suatu jenis satwa dapat menjadi key species yang menjadi kunci keseimbangan alam.
  2. Nilai Komersial:  Secara umum telah dipahami bahwa kehidupan manusia tergantung mutlak kepada sumber daya alam hayati. Keanekaragaman hayati mempunyai nilai komersial yang sangat tinggi. Sebgai gambaran, sebagian dari devisa Indonesia dihasilkan dari penjualan kayu dan bentuk-bentuk lain eksploitasi hutan.
  3. Nilai Sosial dan Budaya  Keanekaragaman hayati mempunyai nilai sosial dan budaya yang sangat besar. Suku-suku pedalaman tidak dapat tinggal diperkotaan karena bagi mereka tempat tinggal adalah hutan dan isinya. Sama halnya dengan suku-suku yang tinggal dan menggantungkan hidup dari laut. Selain itu keanekaragaman hayati suatu negara lain didunia. Konstribusi-konstribusi ini tentunya memberikan makna sosial dan budaya yang tidak kecil.
  4. Nilai Rekreasi: Keindahan sumber daya alam hayati dapat memberikan nilai untuk menjernihkan pikiran dan melahirkan gagasan-gagasan bagi yang menikmatinya. Kita sering sekali pergi berlibur ke alam, apakah itu gunung, gua atau laut dan lain sebagainya, hanya untuk merasakan keindahan alam dan ketika kembali ke perkotaan kita merasa berenergi untuk terus melanjutkan rutinitas dan kehidupan.
  5. Nilai Penelitian dan Pendidikan: Alam sering kali menimbulkan gagasan-gagasan dan ide cemerlang bagi manusia. Nilai ini akan memberikan dorongan untuk mengamati fenomena alam dalam bentuk penelitian. Selain itu alam juga dapat menjadi media pendidikan ilmu pengetahuan alam, maka sangat diperlukan bahan untuk penelitian maupun penghayatan berbagai pengertian dan konsep suatu ilmu pengetahuan.

PEMBAGIAN SDA

  1. SDA yang dapat diperbaharui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. SDA ini      harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem.
  2. SDA yang tidak dapat diperbaharui itu contohnya barang tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak bumi, batu bara,timah dan nikel. Kita  harus menggunakan SDA ini seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali setelah jutaan tahun
  3. SDA juga dapat dibagi menjadi dua yaitu SDA hayati dan SDA non-hayati. SDA hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk  hidup. Seperti: hasil pertanian, perkebunan, pertambakan dan perikanan. Sedangkan SDA non-hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk tak hidup (abiotik). Seperti: air, tanah, barang-barang tambang

ISTILAH DAN PENGERTIAN

Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Hurup H Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan: “Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang”.

Demikian juga  pada ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, khususnya Pasal 6 yang menyatakan: “Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut,mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini.”

Sedang pengertian Sumber Daya Alam (SDA) sendiri secara yuridis cukup sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian SDA ini dari RUU Pengelolaan SDA yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut: “Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan  makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”

Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-undang Nomor 35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001 Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2001, khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup Butir VIII.2.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan:

“Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 adalah: (1)…………….;
(2)…………… ; (3) Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkat peraturannya;  (4) ………… dan seterusnya”. Namun demikian penjelasan dan pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35/2000 tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.

Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari Sundari Rangkuti, yang menyatakan:

“Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana pemenuhan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan:

  1. Hukum Bencana (Ramperenrecht);
  2. Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);
  3. Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law);
  4. Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;
  5. Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht)”

Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum SDA merupakan bagian dari Hukum Lingkungan, menurut Rangkuti Hukum Lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut “hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”. Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan SDA maka Hukum Sumber Daya Alam adalah Hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya dalam hal soal SDA, yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

 BIDANG-BIDANG SDA DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN

Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan Sumber Daya Alam di Indonesia antara lain adalah:

  1. Bidang Agraria yang telah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan;
  3. Bidang Pengairan yang telah diatur oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
  4. Bidang Perikanan yang telah diatur oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  5. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang telah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
  6. Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Masing-masing bidang itu secara kelembagaan dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral yang berada di lingkup departemen yang menangananinya diantaranya adalah: Departemen Dalam Negeri melalui Badan Pertanahan; Departemen Pertambangan dan Energi; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Perikanan dan Kelautan; dan Departemen Kehutanan.

Padahal idealnya kelembagaan yang mengatur soal SDA tidak diatur dan dikelola secara sektoral namun dikelola secara terpadu di bawah koordinasi lembaga  yang memang berwenang untuk itu. Adapun lembaga yang dimaksudkan adalah Kementerian Lingkungan Hidup (Menteri Lingkungan Hidup). Hal ini sebagaimana amanat yang diatur di dalam UU. No 23/1997 Pasal 8 – 11. (Kenyataannya sampai hari ini persoalan SDA masih secara sektoral, oleh karena itu kemudian sekarang sedang diupayakan bahwa SDA dikelola secara terpadu dan diatur tidak lagi secara sektoral. DPRD sedang menggondok UU Pengelolaan SDA yang mengatur SDA secara terpadu).

KONDISI EMPIRIK SDA DI INDONESIA

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam Indonesia yang dilakukan sejak tahun 1960an telah membawa manfaat ekonomi bagi negara, namun demikian sering terjadi pula kerugian bagi lingkungan hidup serta masyarakat di daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam, sedemikian rupa sehingga memicu ketegangan sosial dan menimbulkan konflik yang disertai kekerasan. Indonesia perlu mengelola sumberdaya alamnya dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan daripada yang telah dilakukannya di masa lalu.

Eksploitasi terhadap sumberdaya seperti kayu dan mineral di masa pemerintahan Presiden Soeharto didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang ada hubungannya dengan para elit pada rezim yang berkuasa. Meski secara formal merupakan hal yang sah, eksploitasi tersebut kerap tidak menghiraukan masyarakat serta lingkungan setempat, dan marak dengan korupsi kedinasan dan pelanggaran-pelanggaran. Hal tersebut menciptakan kondisi bagi konflik yang disertai kekerasan pada daerah berhutan seperti Kalimantan Tengah, dimana benturan budaya antara pribumi Dayak dan pendatang asal Madura berakibat pada pembantaian terhadap lebih 500 orang Madura di awal tahun 2001 dan terusirnya ribuan lagi dari daerah tersebut.

Saat ini Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan model bagi pengelolaan sumberdaya yang tidak begitu merusak, akan tetapi malah terjadi peningkatan pesat pengambilan sumberdaya secara tidak sah di seluruh negara sejak tahun 1998. Bentuk-bentuk pengambilan ilegal tersebut adalah penebangan kayu, penambangan dan penangkapan ikan, dan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum ataupun pelaku “liar” yang bertindak diluar hukum. Kesemuanya itu berakibat pada pengrusakan terhadap lingkungan, pengurangan pendapatan negara, serta timbulnya kemungkinan letusan konflik di masa depan. Dalam kasus penebangan kayu, permasalahannya telah menjadi sedemikian berat sehingga sebagian besar dari hutan Indonesia terancam musnah dalam kurun waktu satu dasawarsa.

Industri sumberdaya ilegal dilindungi dan kadangkala bahkan diatur oleh oknum-oknum korup diantara pegawai negeri sipil, aparat keamanan dan legislatif. Industri tersebut memanfaatkan kegundahan rakyat miskin yang merasa tidak ikut menikmati sumberdaya alam di masa Soeharto, akan tetapi sebagaimana pada eksploitasi yang dilegalisir di masa lalu, pada umumnya yang diuntungkan adalah sebuah kalangan kecil pengusaha dan pejabat korup. Oleh karenanya hal tersebut bukan saja merupakan permasalahan lingkungan hidup, melainkan juga menyangkut kepemerintahan dan tindak kejahatan.

Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk menanggulangi pengambilan sumberdaya alam secara ilegal, dan dalam kasus penebangan hutan kini mengalami tekanan yang besar dari donor dan pemberi pinjaman di luar negeri serta gerakan LSM di dalam negeri. Meski pejabat yang berwawasan reformasi belum lama berselang telah mencapai berbagai kemajuan, pemerintah masih harus menempuh jalan yang panjang untuk dapat membalikkan arus. Hal tersebut dikarenakan skala geografis dan tingkat kerumitan dari pengambilan sumberdaya yang ilegal, serta terlibatnya banyak pejabat dan anggota legislatif dalam kegiatan ilegal tersebut.

Permasalahannya bersumber pada lembaga negara yang bertanggungjawab untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kendati ada beberapa pejabat yang jujur dan berdedikasi, korupsi dan rasa apatis masih marak. Dalam hal keterlibatan aparat keamanan, keuntungan yang diraih dari perdagangan ilegal sumberdaya merupakan sumber utama dana operasional serta harta pribadi. Koordinasi diantara lembaga negara masih lebih sering buruk, dan keadaan ini telah diperumit oleh desentralisasi (otonomi daerah), yang mendorong beberapa pejabat daerah untuk menentang pengarahan dari Jakarta dan bahkan mengenakan pajak atas penebangan dan penambangan liar. Namun demikian masih terlihat secercah harapan, terutama pada sikap lebih tegas yang diunjukkan Departemen Kehutanan terhadap penebang liar.

LSM-LSM dan donor luar negeri telah melakukan kerjasama dengan masyarakat setempat pada beberapa daerah yang kaya sumberdaya, untuk membujuk mereka agar tidak ikut serta dalam pengambilan yang tidak berkesinambungan, dengan hasil yang beragam. Beberapa anggota masyarakat menunjukkan kekhawatiran terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengambilan semacam itu. Akan tetapi daya tarik untuk meraih keuntungan dengan cepat terasa sangat kuat dan secara meluas belum ada kesadaran mengenai dampak-dampak jangka panjang, yang antara lain bisa menimbulkan erosi dan banjir yang membahayakan dalam hal penebangan, pencemaran yang bersumber dari penambangan, serta menciutnya persediaan ikan akibat penangkapan ikan. Pengaruh pejabat yang korup serta kepentingan pengusaha pada tingkat lokal juga sangat kuat, yang berarti perubahan sikap tidak mungkin terjadi dalam waktu yang singkat.

Selain menindak para pelaku dan pendukung pengambilan sumberdaya secara ilegal, pemerintah juga perlu memperhatikan sumber-sumber permintaan untuk sumberdaya tersebut. Dalam hal perkayuan, ini berarti menciutkan industri perkayuan Indonesia, yang tumbuh sedemikian besar pada peningkatan ekonomi yang terjadi di pertengahan 1990an sehingga pada saat ini industri itu mengkonsumsi kayu dalam jumlah yang lebih besar dari yang dapat dipasok hutan-hutan di Indonesia dengan cara yang sah. Lembaga negara yang melihat industri tersebut semata-mata dari sudut pandang komersial, terutama Departmen Perdagangan dan Industri serta BPPN, perlu menyadari bahwa apabila industri tersebut tidak diperkecil skalanya, maka sumber bahan baku yang tersisa yang berasal dari dalam negeri bisa habis, dengan akibat yang dahsyat.

Negara-negara yang mengkonsumsi sumberdaya asal Indonesia juga sangat bertanggungjawab untuk mencegah impor komoditas yang pengambilannya dilakukan secara ilegal. Dalam kasus perkayuan, pemerintah-pemerintah dan perusahaan di Asia Tenggara, Asia Timur Laut dan dunia Barat kesemuanya harus bertindak lebih banyak lagi. Khususnya Malaysia perlu mematahkan perdagangan lintas perbatasan menyangkut kayu asal Indonesia yang di tebang secara ilegal.

Hanya segelintir pakar percaya bahwa mengakhiri pengambilan sumberdaya secara ilegal di Indonesia merupakan tugas yang mudah ataupun singkat, mengingat skala permasalahannya serta berakarnya secara mendalam pada korupsi kedinasan dan politik patronase. Banyak yang pesimis bahwa arus dapat dibalikkan sebelum terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap hutan-hutan. Namun demikian, upaya pejabat yang reformis serta LSM-LSM setempat memberi isyarat bahwa apabila pemerintah mampu menjalankan kemauan politik yang diperlukan untuk menanggulangi kepentingan terselubung dalam jajarannya, maka sesungguhnya belum terlambat untuk paling tidak mengendalikan skala kerusakan dan melindungi sebagian aset alam di Indonesia bagi generasi mendatang

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Sebagaimana yang telah disinggung di atas undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan; (3) Undang-undang Nomor  7 tahun 2004 tentang Pengairan; (4) Undang-undang Nomor    tahun 2004 tentang Perikanan; (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (6) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air,  ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.

UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.”

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian  atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).

Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.

Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.  UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.

Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.

Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.

  1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan

Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.

Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang.  Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya.” Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).

Undang-undang pertambangan ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi.  Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.

Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.

Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.

Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.

  1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Air yang dimaksudkan dalam UU ini adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU ini adalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, semangat ini kemudian mendorong munculnya  semangat privatisasi air yang lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat tidak diakomodatif.

Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

  1. Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-undang Perikanan ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat dari sisi ini, cakupan UU ini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU ini. Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar internasional yang diterima secara umum. Ciri sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.

Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU Perikanan ini telah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian UU Perikanan telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.

Aspek lain yang menarik dalam UU Perikanan ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya dalam pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dari pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU Perikanan ini adalah memakai prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang sama UU Perikanan ini juga sangat berwawasan internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini merupakan UU yang sangat up to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.

UU Perikanan juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU Perikanan tidak hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.

Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.

Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU Perikanan juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan pembudi daya ikan kecil. UU Perikanan juga mengatur usaha kemitraan antara pengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil dalam suatu kerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil pun diberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelola kegiatan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengan semangat pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Selain dari aspek-aspek itu, UU Perikanan juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal yang penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Perikanan ini.

Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyak kepada negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh IUU sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legal means yang ada belum cukup kuat dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka penyelesaiannya berjalan sangat lamban dan bertele-tele. Di samping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yang menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi bagi aparat hukum untuk berlindung di balik ketiadaan dan kekurangkuatan landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah.

Meski UU ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya masih bersifat sektoral

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumber daya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemhya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung-jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX  Pasal 37. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat.

Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hampir tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya alam.

Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumber daya alam (penjelasan Pasal  16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1)). Karena itulah maka hak  masyarakat adat tidak mendapat tempat yang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkan pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pandangan undang-undang ini adalah urusan negara yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung-jawab secara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga menginter-pretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral.

Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikan kepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.

  1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinsikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.

Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksud-kan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.

Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah (pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan  hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.

Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat tertentu.

Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses tersebut.

Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negara dalam undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang ini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.

Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.

Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undang   Nomor 41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta masyarakat diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan, memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.

Undang-undang kehutanan ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkan gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah (mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkan berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah sebagaimana dikenal masyarakat.

Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya seperti dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti ini  secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.

Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal da antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah.

Undang-undang kehutanan ini justru memperteguh cara penetapan kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81 menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara itu, pada bagian menimbang butir c disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.

Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam pasal-pasal  Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti telah terjadi kontradiksi internal, karena  mengingkari pernyataan dalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.

Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 ayat (1) dan  Pasal 10 ayat (1).

Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupun ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama.

Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute resolution).

Dari hasil kajian perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki karakteristik dan kelemahan substansial seperti berikut:

  1. Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara.
  2. Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat lokal.
  3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada Negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik.
  4. Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
  5. Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenai perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka dilakukan upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi konvensi PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih bercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari diberlakukannya undang-undang seperti berikut:

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
  2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
  3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, dan
  4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :

  1. Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state-based resource management).
  2. Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah.
  3. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang belum diakui secara utuh.
  4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.
  5. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
  6. Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum diatur secara tegas.

Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka-ragaman Hayati, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.

Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam

Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam, kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui Ketetapan MPR RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharap memberikan arah yang dimaksud.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).