Istilah Dan Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Posted: 6 April 2015 in Sistem Peradilan Pidana
Tag:

Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan[1]. Terlepas dari aspek tersebut diatas pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada ruang lingkup lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Secara terminologi Sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penagggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem[2] Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli hukum dalam “criminal justice system”di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan lembaga penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari peningkatan kriminalitas di Amerika Serikat  pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam konteks penegakan hukum dikenal dengan istilah “law enforcement”. Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektivitas dan efesiensi kerja organisasi kepolisian.

Frank remington adalah orang pertama di Amerika Serikt yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (System Approach) dan gagasan mengenai sistem ini teradapat pada laporan pilot proyek tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh “The President’s Crime Commision” . Dalam kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, Criminal Justice sebagai disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “Law Enforcement” atau “Police Studies”. Perkembangan sistem ini di amerika serikat dan dibeberapa negara eropa menjadi model yang dominan dengan menitikberatkan pada “The Administration Of Justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.[3]

Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.[4] Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukan oleh Romli tersebut, sistem tersebut mempunyai ciri-ciri:

  1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan).
  2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana
  3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara
  4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The Administration Of Justice

Berbeda dengan pendapatnya Romli Atmasasmita, Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap SPP adalah: sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarkatan terpidana. Berkaitan dengan definisi tersebut, Mardjono mengemukaan tujuan dari sistem peradilan pidana, adalah:[5]

  1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
  3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu yang dikenal dengan istilah Integrated Crimnal Justice System.

Hagan membedakan pengetian antara “Criminal Justice Proces” dan “Criminal Justice System”. Criminal Justice Proces adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara setiap keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.[6]

Samuel Walker menegaskan, bahwa paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang berwenang dalam suatu kerangka interelasi antar aparatur penegak hukum. Lebih jauh samuel mengemukakan bahwa, pendekatan ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah membentuk upaya pembaharuan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun Amerika Serikat. Upaya ini antara lain:[7]

  1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan
  2. Mengembangkan kordinasi antara berbagai komponen peradilan pidana
  3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum.

Muladi menegaskan bahwa makna “Integrated Criminal Justice System” adalah singkronisasi atau kesempatan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:[8]

  1. Sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah keserampakan dan keselerasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegakan hukum.
  2. Sinkronisasi substansi (substantial syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
  3. Sinkronisasi kultural (cultural sycronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sistem peradilan pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan hukum. Jadi pada hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”, karena “kekuasaan kehakiman “ pada dasarnya merupakan “kekuasaan/ kewenangan menegakkan hukum” [9]. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sistem peradilan (atau sistem penegakan hukum, untuk selanjutnya disingkat SPH) dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai  sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen “substansi hukum” (legal substance), “struktur hukum” (legal structure), dan “budaya hukum” (legal culture).[10] Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan hukum/ terkait erat dengan tiga komponen itu, yaitu peraturan perundang-undangan, struktur atau lembaga penegak hukum, dan budaya hukum.

Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Pada prinsipnya aparat penegak hukum tersebut memilki hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (crimal justice process) yang dimulai dari proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan, dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri .dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan. Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.

[1] Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007). Hlm. 35.

[2] Ibid,  Hlm. 38.

[3] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), Hlm. 33.

[4] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit., Hlm.14.

[5] Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato pengukuhan penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Ibid.

[6] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm. 36.

[7] Ibid

[8] Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994), Hlm. 30.

[9] Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011). Hlm. 2-3.

[10] Ibid, Hlm.2.

Tinggalkan komentar