HUKUM PERTAMBANGAN-masrudi

Pertambangan di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, dari minyak bumi hingga emas, batubara, perak, dan tembaga. Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan ini menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan kepada dunia. Namun kebanggaan itu dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat karena sumberdaya alam merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui, sehingga lambat laun akan habis.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsepsi “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai sebagai “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas, kepemilikan dalam pengertian hukum publik yang tentunya berfungsi sebagai sumber bagi pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan air tidak hanya dipahami dalam pengertian penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Dengan dikuasai oleh Negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.[1] Hal tersebut memberikan kewenangan bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Dalam konteks ini, mineral dan batu bara yang merupakan bagian dari kekayaan alam yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengelolaan mineral dan batu bara dilakukan melalui kegiatan pertambangan yang harus dikelola dengan berasaskan keberpihakan pada kepentingan bangsa dan keseimbangan (kesatuan ekonomi), selain dengan asas manfaat, efisiensi berkeadilan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[2]

Politik Hukum Pertambangan

Dari perspektif yuridis historis, politik hukum pertambangan dimulai ketika pemerintah mengeluarkan UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No11/1967. Dalam UU Pertambangan dinyatakan bahwa segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UU Pokok Pertambangan membagi bahan galian menjadi tiga golongan. Pertama, bahan galian golongan A atau strategis, seperti migas, batubara, dan timah. Kedua, bahan galian golongan B atau vital, seperti emas, tembaga, intan. Ketiga, bahan galian golongan C atau bukan strategis dan bukan pula vital, seperti batu granit dan pasir.

Pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk bahan galian strategis dan vital dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan. Sementara untuk bahan galian yang strategis dan tidak vital dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.

Sejak adanya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional saat itu, telah terjadi perkembangan pemikiran kritis terhadap peran sumber daya alam terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mencapai puncaknya pada gerakan reformasi politik, hukum dan ekonomi pada tahun 2000-an.

Setelah lebih dari 40 Tahun eksistensi Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 dirasakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kegiatan pertambangan di Indonesia. Salah satu isu yang paling utama adalah minimnya kontribusi manfaat yang diperoleh masyarakat dari sektor pertambangan. Jika merujuk kembali pada Pasal 33 ayat (3) maka Penguasaan SDA seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan rakyat.

Salah satu yang dianggap sebagai titik lemah dari UU Pertambangan yang lama adalah pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang didasarkan pada Kontrak Karya memberikan kedudukan yang kurang menguntungkan bagi Negara dalam memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan. Adapun latar belakang pengaturan sistem Kontrak Karya pada awal kebijakan pertambangan pada tahun 1967 adalah sebagai upaya pemerintah dalam mendatangkan capital (modal) untuk melakukan pembangunan melalui sektor pertambangan dengan cara memberikan kontrak karya bagi pelaku usaha yang hendak melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia.

Dengan semakin kuatnya perekonomian nasional dan meningkatnya kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk mengembangkan kegiatan usaha pertambangan maka tuntutan perubahan kebijakan pengaturan kegiatan pertambangan telah menjadi agenda utama selama proses reformasi di bidang ekonomi dan hukum disertai dengan gerakan otonomi daerah untuk memberikan peranan yang lebih besar pada daerah saat itu. Sebagai bentuk penguatan lembaga negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan maka konsep perizinan yang menggantikan rejim kontrak diharapkan dapat memberikan posisi tawar yang lebih baik bagi pemerintah yang pada akhirnya diyakini dapat meningkatkan nilai manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

UU Minerba

Dinamika perkembangan politik hukum pertambangan terjadi pada tahun 2009 ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967).

Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya sebagai bentuk hukum perjanjian menjadi sistem perizinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara.

Secara umum, Undang-undang Minerba yang baru memuat pokok-pokok sebagai berikut:[3]

  1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
  2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia khususnya pengusaha lokal, koperasi, perseorangan, BUMN, BUMD, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
  3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.
  4. usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
  5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
  6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pelestarian lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
  7. Perubahan kedudukan Negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan dari rejim kontrak yang memberikan kedudukan negara sejajar dengan pelaku usaha swasta menjadi beralih kepada rejim perizinan yang memberikan kedudukan negara lebih tinggi dari pelaku usaha.

[1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), Hal. 281.

[2] Pasal 2 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

[3] Daud Silalahi dan Kristianto P H, Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia Pasca Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun 2009, Law Review Volume XI No. 1 – Juli 2011.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, dari minyak bumi hingga emas, batubara, perak, dan tembaga. Kekayaan alam tersebut tersebar di berbagai wilayah, dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan ini menjadi salah satu hal yang bisa dibanggakan kepada dunia. Namun kebanggaan itu dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat karena sumberdaya alam merupakan kekayaan yang tidak dapat diperbaharui, sehingga lambat laun akan habis.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsepsi “dikuasai oleh negara” dapat dimaknai sebagai “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas, kepemilikan dalam pengertian hukum publik yang tentunya berfungsi sebagai sumber bagi pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan air tidak hanya dipahami dalam pengertian penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Dengan dikuasai oleh Negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.[1] Hal tersebut memberikan kewenangan bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah

Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan dan dikelola dengan berasaskan keberpihakan pada kepentingan bangsa dan keseimbangan (kesatuan ekonomi), selain dengan asas manfaat, efisiensi berkeadilan, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[2]

Dalam prakteknya, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, terkadang telah menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tentunya hal-hal tersebut dapat menggganggu tujuan pengelolaan kegiatan pertambangan itu sendiri, yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akhir tahun 2011 dihiasi dengan mencuatnya konflik dan kekerasan yang terjadi di Mesuji dan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Fenomena konflik sosial politik di Indonesia sejak masa reformasi menunjukkan intensitas yang semakin tinggi. Sejak 2006 hingga 2009, sejumlah kasus menumpuk dan tak pernah terselesaikan. Bahkan selalu berakhir konflik dan kekerasan. Sepanjang 2011, Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Jumlah itu meningkat 35% dari tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik.[3]

Kendati konflik terus meningkat, upaya-upaya serius pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik sumber daya alam yang ada masih belum menunjukkan langkah yang serius, bahkan cendrung seperti sengaja dipelihara. Para pengusaha  cenderung berlindung dibalik penegakan hukum yang buruk. Masyarakat yang menjadi korban konflik tidak memiliki pijakan dan mekanisme yang mendukung mereka dalam penyelesaian konflik sumber daya alam.

Fakta yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal  menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi.

Tulisan ini mencoba untuk melihat Relevansi antara politik hukum pengelolaan sumber daya alam dan implikasi Konflik yang ditimbulkan dari politik hukum pengelolaan sumber daya alam  yang ada saat ini di Indonesia

Potret Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia

Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.[4] Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, tentunya politik hukum akan menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara, dengan syarat tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Output dari kesemuanya itu adalah diarahkan dalam rangka mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.

Politik hukum nasional Indonesia didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, disamping itu juga bersumber pada hukum lain dengan syarat tidak bertentangan dengan jiwa pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dengan model pendekatan seperti itu dapat mempertahankan identitas hukum nasional dan secaara bersamaan mengakomodasi budaya hukum lain yang baik, dan diharapkan dapat membantu mempercepat proses pembangunan sistem hukum nasional itu sendiri.

Politik hukum nasional pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Hak menguasai Negara pada dasarnya merupakan cerminan dari implementasi nilai, norma, dan konfigurasi hukum Negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberikan otoritas dan ligitimasi kepada Negara untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya.[5]

Namun demikian, selama kurun waktu lebih dari tiga dasa warsa terakhir ini telah terjadi manipulasi interpretasi oleh pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan Negara terhadap konsepsi “hak menguasai Negara”. Yaitu:[6]

Pertama, pemerintah telah memberikan interpretasi sempit dan tunggal atas terminilogi Negara (state). Negara semata-mata diinterpretasikan sebagai pemerintah saja, bukan pemerintah (government) dan rakyat (people) sebagaimana dimaksud dalam terminology negara dalam UUD 1945. Pengertian Negara mempunyai empat komponen pokok, yaitu wilayah (territory), rakyat (people), pemerintah (government) serta kedaulatan (souvereignity). Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam konteks penyelenggaraan Negara berada pada posisi yang sama, bukan dalam hubungan yang bersifat super-subordinasi atau hubungan yang bercorak atasan (superior) dan bawahan (inferior).

Kedua, implikasi dari manipulasi interpretasi Negara seperti ini, diciptakannya relasi yang bercorak super-subordinasi antara pemerintah dengan rakyat. Dalam konteks ini, rakyat diposisikan sebagai subordinasi yang bersifat bawahan (inferior), sedangkan pemerintah berada pada posisi superordinasi yang memiliki peran sebagai atasan (superior).

Ketiga, pengejawantahan dari pola hubungan supersubordinasi antara pemerintah dengan rakyat seperti yang dimaksud tercermin dari pilihan paradigm pembangunan yang digunakan, yaitu pembangunan yang didominasi pemerintah (government dominated development), bukan pembangunan yang berbasis Negara (state based development). Untuk mendukung dan mengamankan paradigma pembangunan tersebut, pemerintah menciptakan instrument hukum yang bermakna hukum pemerintah (government law) atau lebih dikenal dengan hukum birokrasi (bureaucratic law).

Instrument hukum tersebut, antara lain: (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bagian kedua Pasal 203 ayat (2) meletakkan hak-hak masyarakat adat dalam posisi yang subordinatif dibawah peraturan daerah dan peraturan pemerintah. Pasal 203 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pemilihan kepada desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.”

Dari instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang dibuat oleh Negara  mengabaikan dan menggusur keberadaan system lain yang hidup dalam masyarakat, seperti hukum adat dalam komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, konstruksi hukum yang dikembangkan oleh Negara dalam kebijakan dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia lebih bercorak hukum represif (repressive law).

Konstruksi Hukum represif dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia paling tidak memiliki ciri-ciri (1) hak-hak masyarakat dirumuskan secara ambiguitas, disatu sisi diakui keberadaannya, tetapi disisi yang lain dibatasi secara mutlak dan bahkan secara eksplisit diabaikan keberadaannya, (2) dicantumkannya stigma-stigma kriminologis untuk menggusur keberadaan masyarakat atas sumber daya alam dengan lebel perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, penambangan tanpa izin, perumput liar, perusak hutan, dan lain-lain, dan (3) mengedepankan penampilan aparat-aparat hukum dengan pendekatan keamanan (security approach).

Implikasi dari konstruksi hukum represif dalam kebijakan di bidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia , menyebabkan terjadinya viktimisasi dan dehumanisasi masyarakat adat, munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tergusur, terabaikan, atau termarginalisasikan sebagai korban kebijakan pembangunan dan, disisi lain, terjadi kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi sumber daya alam untuk mengejar pertumbungan ekonomi (economic growth development).

Kongkritisasi dari konstruksi hukum represif dalam membingkai kebijakan di bidang hukum pengelolaan sumber daya alam adalah pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal  menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi.

Dalam undang-undang diatur mengenai hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam  selalu disertai  tambahan kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” atau “sepanjang masih ada dan diakui” dan seterusnya. Dengan cara inilah pemerintah menjalankan politik hukum pengabaikan atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berlaku di Masyarakat.[7]

Kebijakan pemerintah dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia memperlihatkan adanya sifat ambiguitas dari pemerintah. Di satu sisi mengakui disisi yang lain membatasi dan bahkan dalam beberapa peraturan diartikan sebagai “pembekuan” hak-hak masyarakat adat. Ini merupakan cerminan dari karakter hukum Negara yang sentralistik sehingga cenderung mendominasi keberadaan sistem-sistem normatif yang hidup dalam masyarakat. Kondisi inilah yang membangkitkan resistensi masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air, khususnya di luar Jawa. Apabila ini terus dilakukan pada gilirannya akan menimbulkan persoalan bagi integrasi Negara kesatuan RI.

Bentuk Politik Hukum Yang Tepat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Masa Mendatang

Pada prinsipnya Pengelolaan sumber daya alam seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD 1945  Pasal 33 ayat (3) adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan sumber daya alam lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber devisa Negara namun tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan.

Secara kritis dapat dijelaskan bahwa konsepsi pengelolaan sumber daya alam meletakkan pada paradigma yang berbasis negara. Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dicirikan dengan bentuk institusi dan kebijakannya yang sentralistik, pendekatan atas-bawah, orientasi target ekonomi, perencanaan makro dan penganggaran ketat. Kondisi ini rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mendapat keuntungan atas pengelolaan sumber daya alam ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas.

Jika ditelaah secara kritis ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka pertanyaan yang harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara primer dengan pengelolaan sumber daya alam. Masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional.

Berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, dan  Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendasarkan konsep hak mengusai Negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Pemegang hak menguasai Negara adalah pemerintah pusat, dalam praktiknya telah mengeluarkan keputusan hak pengelolaan, seperti HPH, HTI, HGU serta eksploitasi laut dan tambang pada swasta nasional atau asing ternyata berimplikasi terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia secara serius.

Sehubungan dengan persolan tersebut maka perlu dikembangkan konstruksi  tata hukum nasional berbasis pada kearifan lokal yang dapat menjamin perlindungan hak-hak masyarakat lokal atas sistem hukum, sosial, budaya, dan politik yang selama ini dikukuhinya, dengan harapan dapat mencegah dan meminimalisir konflik sumber daya alam di Indonesia. Dalam hal ini  Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri:[8]

  1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
  2. Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
  3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
  4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
  5. Aturan procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
  6. Responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Senada usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang telah dibukukan berjudul Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:[9]

  1. Berlandaskan pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konsttusional);
  2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.

Dalam konteks politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,  rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan otonomi daerah yang responsif dan akomodatif terhadap kearifan lokal dan pengakuan hak-hak masyarakat lokal di Indonesia. Konkretnya dapat dilakukan melalui pembentukan dan pelaksanaan Peraturan daerah (Perda) dan menghidupkan kembali hukum adat, termasuk hak ulayat yang selama ini terabaikan dan tidak mendapat pengakuan secara proporsional dalam sistem hukum nasional.

Berlakunya hukum adat atau hukum daerah dalam bentuk perda, memaknai kemerdekaan dan kebebasan tersendiri bagi individu dan masyarakat di daerah dalam melaksanakan desentralisasi dan demokrasi yang telah lama diinginkan. Pengakuan dan pemberlakukan hukum adat dan aturan daerah sebagai bagian dalam sistem hukum nasional akan dapat mencairkan persoalan hukum dan penegakan hukum yang krusial dan paling tidak memberi suatu kecerahan baru bagi tegaknya Negara hukum dan supremasi hukum.[10]

Sehubungan dengan hal tersebut I Nyoman Nurjaya[11] menyebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang mampu membentuk hukum yang baik, yang menghargai, dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan, hak-hak, dan kearifan masyarakat adat, maka harus dianut idiologi pluralisme hukum (legal pluralism) dalam pembangunan politik hukum otonomi daerah dengan memberikan ruang bagi prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, penghargaan, dan pengakuan atas kearifan lokal sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, kelembagaan, dan berbagai tradisi yang secara nyata hidup dan berkembang dalam komunitas masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia.

PENUTUP

KESIMPULAN:

  1. Potret politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dibingkai melalui kebijakan hukum represif, dimana pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum Negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian hukum adat/hukum lokal menjadi terabaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara substansi dan implementasi. Kondisi inilah yang membangkitkan resistensi masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air, khususnya di luar Jawa yang sering kali berujung pada konflik sumber daya alam di Indonesia.
  2. Dalam konteks politik hukum pengelolaan SDA di Indonesia, rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan SDA yang lebih baik. Politik hukum pengelolaan SDA dimasa mendatang harus menganut idiologi pluralisme hukum (legal pluralism) sehingga dapat menghargai, dan mengakui serta mengakomodasi akses, kepentingan, hak-hak, dan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

 

               [1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), Hal. 281.

               [2] Pasal 2 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

               [3] www.lampungpost.com Diakses Pada Tanggal 10 Januari 2012 [ Menilik Sumber Konflik Di Indonesia]

[4] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), Hlm. 32.

               [5] Rachmad Safa’at, Advokasi Dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa: Latar Belakang, Konsep, Dan Implementasinya, Op.cit Hal. 287

               [6] Ibid, hal. 287-289.

               [7] Ibid, Hal. 290.

               [8] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2000), Hal. 212.

               [9]   Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997). Hal. 297.

               [10] Fathullah, “Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat”, Kompas, Senin, 3 Juli 2000.

               [11] I Nyoman Nurjaya, Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berbasis Masyarakat Adat: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Eksistensi Hukum Adat Dan Politik Hukum Di Indonesia. Pusat Pengembangan Hukum Lingkungan Dan Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 26 Juli 2004.

Hukum SDA

 

HUKUM SUMBER DAYA ALAM

MASRUDI MUCHTAR, S.H.,M.H.

PENDAHULUAN

Sumberdaya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.

            Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.

            Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana  uraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyak kerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi  selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber Daya Alam tersebut.

 URGENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

  1. Realita hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosytem). Adapun kemampuan manusia hidup dan mempertahankan kehidupannya (survive) dalam rangka pengembaraannya dimuka bumi adalah sebagai proses pembentukan pribadi individu yang peka terhadap alam dan lingkungannya.
  2. Pemanfaatan dan pengelolaan alam dan sumber daya alam yang bijaksana bagi kepentingan manusia. Konsep konservasi pada  mencakup beberapa sektor, yaitu sektor ilmiah, sektor sosial budaya dan sektor pengolahannya. Ketiga sektor ini harus saling melengkapi mengikat satu sama lainnya. Sektor ilmiah melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian-penelitian dan pengamatan yang bersifat ilmiah, artinya kegiatan ini bersifat terbuka, terukur, sistematik nalar dan berkaitan dengan sistematik yang ada. Misalnya penelitian tentang satu jenis folra dan fauna tertentu, baik dari populasi atau habitatnya. Sektor sosial budaya dan ekonomi perlu dipahami, sebab latar belakang masyarakat berpengaruh terhadap perlindungan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati. Sektor pengolahan adalah bagaimana manusia mengelola sumber daya alam yang ada secara bijaksana.
  3. Dukungan yang mengglobal terhadap konservasi didasarkan karena penghargaan estetika, pengetahuan bahwa produk-produk yang berguna dapat saja berasal dari jenis yang belum dikenali, dan pengertian bahwa lingkungan harus menjadi fungsi biosphere yang tepat, khusunya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia akan udara, air dan tanah, yang mana saat ini mengalami degradasi yang sangat cepat.
  4. Pemanfaatan SDA berupa  tumbuhan antara lain dapat menghasilkan oksigen bagi manusia dan hewan Mengurangi polusi karena dapat menyerap karbondioksida yang dipakai tumbuhan untuk proses fotosintesis Mencegah terjadinya erosi, tanah longsor dan banjir Bahan industri, misalnya kelapa sawit bahan industri minyak goreng Bahan makanan, misalnya padi menjadi beras Bahan minuman, misalnya teh dan jahe

NILAI-NILAI  YANG TERKANDUNG DALAM  PENGELOLAAN SDA

  1. Nilai Ekologis : Setiap sumberdaya alam merupakan unsur ekosistem alam. Sebagai misal, suatu tumbuhan dapat berfungsi sebagai pelindung tata air dan kesuburan tanah. Suatu jenis satwa dapat menjadi key species yang menjadi kunci keseimbangan alam.
  2. Nilai Komersial:  Secara umum telah dipahami bahwa kehidupan manusia tergantung mutlak kepada sumber daya alam hayati. Keanekaragaman hayati mempunyai nilai komersial yang sangat tinggi. Sebgai gambaran, sebagian dari devisa Indonesia dihasilkan dari penjualan kayu dan bentuk-bentuk lain eksploitasi hutan.
  3. Nilai Sosial dan Budaya  Keanekaragaman hayati mempunyai nilai sosial dan budaya yang sangat besar. Suku-suku pedalaman tidak dapat tinggal diperkotaan karena bagi mereka tempat tinggal adalah hutan dan isinya. Sama halnya dengan suku-suku yang tinggal dan menggantungkan hidup dari laut. Selain itu keanekaragaman hayati suatu negara lain didunia. Konstribusi-konstribusi ini tentunya memberikan makna sosial dan budaya yang tidak kecil.
  4. Nilai Rekreasi: Keindahan sumber daya alam hayati dapat memberikan nilai untuk menjernihkan pikiran dan melahirkan gagasan-gagasan bagi yang menikmatinya. Kita sering sekali pergi berlibur ke alam, apakah itu gunung, gua atau laut dan lain sebagainya, hanya untuk merasakan keindahan alam dan ketika kembali ke perkotaan kita merasa berenergi untuk terus melanjutkan rutinitas dan kehidupan.
  5. Nilai Penelitian dan Pendidikan: Alam sering kali menimbulkan gagasan-gagasan dan ide cemerlang bagi manusia. Nilai ini akan memberikan dorongan untuk mengamati fenomena alam dalam bentuk penelitian. Selain itu alam juga dapat menjadi media pendidikan ilmu pengetahuan alam, maka sangat diperlukan bahan untuk penelitian maupun penghayatan berbagai pengertian dan konsep suatu ilmu pengetahuan.

PEMBAGIAN SDA

  1. SDA yang dapat diperbaharui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. SDA ini      harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem.
  2. SDA yang tidak dapat diperbaharui itu contohnya barang tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak bumi, batu bara,timah dan nikel. Kita  harus menggunakan SDA ini seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali setelah jutaan tahun
  3. SDA juga dapat dibagi menjadi dua yaitu SDA hayati dan SDA non-hayati. SDA hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk  hidup. Seperti: hasil pertanian, perkebunan, pertambakan dan perikanan. Sedangkan SDA non-hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk tak hidup (abiotik). Seperti: air, tanah, barang-barang tambang

ISTILAH DAN PENGERTIAN

Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Hurup H Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan: “Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang”.

Demikian juga  pada ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, khususnya Pasal 6 yang menyatakan: “Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut,mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini.”

Sedang pengertian Sumber Daya Alam (SDA) sendiri secara yuridis cukup sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian SDA ini dari RUU Pengelolaan SDA yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut: “Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan  makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”

Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-undang Nomor 35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001 Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2001, khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup Butir VIII.2.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan:

“Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 adalah: (1)…………….;
(2)…………… ; (3) Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkat peraturannya;  (4) ………… dan seterusnya”. Namun demikian penjelasan dan pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35/2000 tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.

Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari Sundari Rangkuti, yang menyatakan:

“Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana pemenuhan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan:

  1. Hukum Bencana (Ramperenrecht);
  2. Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);
  3. Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law);
  4. Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;
  5. Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht)”

Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum SDA merupakan bagian dari Hukum Lingkungan, menurut Rangkuti Hukum Lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut “hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”. Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan SDA maka Hukum Sumber Daya Alam adalah Hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya dalam hal soal SDA, yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

 BIDANG-BIDANG SDA DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN

Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan Sumber Daya Alam di Indonesia antara lain adalah:

  1. Bidang Agraria yang telah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan;
  3. Bidang Pengairan yang telah diatur oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
  4. Bidang Perikanan yang telah diatur oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  5. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang telah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
  6. Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Masing-masing bidang itu secara kelembagaan dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral yang berada di lingkup departemen yang menangananinya diantaranya adalah: Departemen Dalam Negeri melalui Badan Pertanahan; Departemen Pertambangan dan Energi; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Perikanan dan Kelautan; dan Departemen Kehutanan.

Padahal idealnya kelembagaan yang mengatur soal SDA tidak diatur dan dikelola secara sektoral namun dikelola secara terpadu di bawah koordinasi lembaga  yang memang berwenang untuk itu. Adapun lembaga yang dimaksudkan adalah Kementerian Lingkungan Hidup (Menteri Lingkungan Hidup). Hal ini sebagaimana amanat yang diatur di dalam UU. No 23/1997 Pasal 8 – 11. (Kenyataannya sampai hari ini persoalan SDA masih secara sektoral, oleh karena itu kemudian sekarang sedang diupayakan bahwa SDA dikelola secara terpadu dan diatur tidak lagi secara sektoral. DPRD sedang menggondok UU Pengelolaan SDA yang mengatur SDA secara terpadu).

KONDISI EMPIRIK SDA DI INDONESIA

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam Indonesia yang dilakukan sejak tahun 1960an telah membawa manfaat ekonomi bagi negara, namun demikian sering terjadi pula kerugian bagi lingkungan hidup serta masyarakat di daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam, sedemikian rupa sehingga memicu ketegangan sosial dan menimbulkan konflik yang disertai kekerasan. Indonesia perlu mengelola sumberdaya alamnya dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan daripada yang telah dilakukannya di masa lalu.

Eksploitasi terhadap sumberdaya seperti kayu dan mineral di masa pemerintahan Presiden Soeharto didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang ada hubungannya dengan para elit pada rezim yang berkuasa. Meski secara formal merupakan hal yang sah, eksploitasi tersebut kerap tidak menghiraukan masyarakat serta lingkungan setempat, dan marak dengan korupsi kedinasan dan pelanggaran-pelanggaran. Hal tersebut menciptakan kondisi bagi konflik yang disertai kekerasan pada daerah berhutan seperti Kalimantan Tengah, dimana benturan budaya antara pribumi Dayak dan pendatang asal Madura berakibat pada pembantaian terhadap lebih 500 orang Madura di awal tahun 2001 dan terusirnya ribuan lagi dari daerah tersebut.

Saat ini Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan model bagi pengelolaan sumberdaya yang tidak begitu merusak, akan tetapi malah terjadi peningkatan pesat pengambilan sumberdaya secara tidak sah di seluruh negara sejak tahun 1998. Bentuk-bentuk pengambilan ilegal tersebut adalah penebangan kayu, penambangan dan penangkapan ikan, dan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum ataupun pelaku “liar” yang bertindak diluar hukum. Kesemuanya itu berakibat pada pengrusakan terhadap lingkungan, pengurangan pendapatan negara, serta timbulnya kemungkinan letusan konflik di masa depan. Dalam kasus penebangan kayu, permasalahannya telah menjadi sedemikian berat sehingga sebagian besar dari hutan Indonesia terancam musnah dalam kurun waktu satu dasawarsa.

Industri sumberdaya ilegal dilindungi dan kadangkala bahkan diatur oleh oknum-oknum korup diantara pegawai negeri sipil, aparat keamanan dan legislatif. Industri tersebut memanfaatkan kegundahan rakyat miskin yang merasa tidak ikut menikmati sumberdaya alam di masa Soeharto, akan tetapi sebagaimana pada eksploitasi yang dilegalisir di masa lalu, pada umumnya yang diuntungkan adalah sebuah kalangan kecil pengusaha dan pejabat korup. Oleh karenanya hal tersebut bukan saja merupakan permasalahan lingkungan hidup, melainkan juga menyangkut kepemerintahan dan tindak kejahatan.

Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk menanggulangi pengambilan sumberdaya alam secara ilegal, dan dalam kasus penebangan hutan kini mengalami tekanan yang besar dari donor dan pemberi pinjaman di luar negeri serta gerakan LSM di dalam negeri. Meski pejabat yang berwawasan reformasi belum lama berselang telah mencapai berbagai kemajuan, pemerintah masih harus menempuh jalan yang panjang untuk dapat membalikkan arus. Hal tersebut dikarenakan skala geografis dan tingkat kerumitan dari pengambilan sumberdaya yang ilegal, serta terlibatnya banyak pejabat dan anggota legislatif dalam kegiatan ilegal tersebut.

Permasalahannya bersumber pada lembaga negara yang bertanggungjawab untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kendati ada beberapa pejabat yang jujur dan berdedikasi, korupsi dan rasa apatis masih marak. Dalam hal keterlibatan aparat keamanan, keuntungan yang diraih dari perdagangan ilegal sumberdaya merupakan sumber utama dana operasional serta harta pribadi. Koordinasi diantara lembaga negara masih lebih sering buruk, dan keadaan ini telah diperumit oleh desentralisasi (otonomi daerah), yang mendorong beberapa pejabat daerah untuk menentang pengarahan dari Jakarta dan bahkan mengenakan pajak atas penebangan dan penambangan liar. Namun demikian masih terlihat secercah harapan, terutama pada sikap lebih tegas yang diunjukkan Departemen Kehutanan terhadap penebang liar.

LSM-LSM dan donor luar negeri telah melakukan kerjasama dengan masyarakat setempat pada beberapa daerah yang kaya sumberdaya, untuk membujuk mereka agar tidak ikut serta dalam pengambilan yang tidak berkesinambungan, dengan hasil yang beragam. Beberapa anggota masyarakat menunjukkan kekhawatiran terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengambilan semacam itu. Akan tetapi daya tarik untuk meraih keuntungan dengan cepat terasa sangat kuat dan secara meluas belum ada kesadaran mengenai dampak-dampak jangka panjang, yang antara lain bisa menimbulkan erosi dan banjir yang membahayakan dalam hal penebangan, pencemaran yang bersumber dari penambangan, serta menciutnya persediaan ikan akibat penangkapan ikan. Pengaruh pejabat yang korup serta kepentingan pengusaha pada tingkat lokal juga sangat kuat, yang berarti perubahan sikap tidak mungkin terjadi dalam waktu yang singkat.

Selain menindak para pelaku dan pendukung pengambilan sumberdaya secara ilegal, pemerintah juga perlu memperhatikan sumber-sumber permintaan untuk sumberdaya tersebut. Dalam hal perkayuan, ini berarti menciutkan industri perkayuan Indonesia, yang tumbuh sedemikian besar pada peningkatan ekonomi yang terjadi di pertengahan 1990an sehingga pada saat ini industri itu mengkonsumsi kayu dalam jumlah yang lebih besar dari yang dapat dipasok hutan-hutan di Indonesia dengan cara yang sah. Lembaga negara yang melihat industri tersebut semata-mata dari sudut pandang komersial, terutama Departmen Perdagangan dan Industri serta BPPN, perlu menyadari bahwa apabila industri tersebut tidak diperkecil skalanya, maka sumber bahan baku yang tersisa yang berasal dari dalam negeri bisa habis, dengan akibat yang dahsyat.

Negara-negara yang mengkonsumsi sumberdaya asal Indonesia juga sangat bertanggungjawab untuk mencegah impor komoditas yang pengambilannya dilakukan secara ilegal. Dalam kasus perkayuan, pemerintah-pemerintah dan perusahaan di Asia Tenggara, Asia Timur Laut dan dunia Barat kesemuanya harus bertindak lebih banyak lagi. Khususnya Malaysia perlu mematahkan perdagangan lintas perbatasan menyangkut kayu asal Indonesia yang di tebang secara ilegal.

Hanya segelintir pakar percaya bahwa mengakhiri pengambilan sumberdaya secara ilegal di Indonesia merupakan tugas yang mudah ataupun singkat, mengingat skala permasalahannya serta berakarnya secara mendalam pada korupsi kedinasan dan politik patronase. Banyak yang pesimis bahwa arus dapat dibalikkan sebelum terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap hutan-hutan. Namun demikian, upaya pejabat yang reformis serta LSM-LSM setempat memberi isyarat bahwa apabila pemerintah mampu menjalankan kemauan politik yang diperlukan untuk menanggulangi kepentingan terselubung dalam jajarannya, maka sesungguhnya belum terlambat untuk paling tidak mengendalikan skala kerusakan dan melindungi sebagian aset alam di Indonesia bagi generasi mendatang

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Sebagaimana yang telah disinggung di atas undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan; (3) Undang-undang Nomor  7 tahun 2004 tentang Pengairan; (4) Undang-undang Nomor    tahun 2004 tentang Perikanan; (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (6) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air,  ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.

UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.”

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian  atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).

Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.

Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.  UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.

Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.

Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.

  1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan

Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.

Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang.  Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya.” Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).

Undang-undang pertambangan ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi.  Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.

Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.

Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.

Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.

  1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Air yang dimaksudkan dalam UU ini adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU ini adalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, semangat ini kemudian mendorong munculnya  semangat privatisasi air yang lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat tidak diakomodatif.

Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

  1. Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-undang Perikanan ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat dari sisi ini, cakupan UU ini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU ini. Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar internasional yang diterima secara umum. Ciri sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.

Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU Perikanan ini telah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian UU Perikanan telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.

Aspek lain yang menarik dalam UU Perikanan ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya dalam pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dari pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU Perikanan ini adalah memakai prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang sama UU Perikanan ini juga sangat berwawasan internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini merupakan UU yang sangat up to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.

UU Perikanan juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU Perikanan tidak hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.

Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.

Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU Perikanan juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan pembudi daya ikan kecil. UU Perikanan juga mengatur usaha kemitraan antara pengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil dalam suatu kerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil pun diberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelola kegiatan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengan semangat pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Selain dari aspek-aspek itu, UU Perikanan juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal yang penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Perikanan ini.

Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyak kepada negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh IUU sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legal means yang ada belum cukup kuat dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka penyelesaiannya berjalan sangat lamban dan bertele-tele. Di samping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yang menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi bagi aparat hukum untuk berlindung di balik ketiadaan dan kekurangkuatan landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah.

Meski UU ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya masih bersifat sektoral

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumber daya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemhya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung-jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX  Pasal 37. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat.

Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hampir tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya alam.

Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumber daya alam (penjelasan Pasal  16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1)). Karena itulah maka hak  masyarakat adat tidak mendapat tempat yang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkan pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pandangan undang-undang ini adalah urusan negara yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung-jawab secara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga menginter-pretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral.

Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikan kepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.

  1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinsikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.

Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksud-kan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.

Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah (pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan  hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.

Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat tertentu.

Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses tersebut.

Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negara dalam undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang ini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.

Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.

Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undang   Nomor 41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta masyarakat diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan, memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.

Undang-undang kehutanan ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkan gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah (mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkan berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah sebagaimana dikenal masyarakat.

Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya seperti dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti ini  secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.

Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal da antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah.

Undang-undang kehutanan ini justru memperteguh cara penetapan kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81 menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara itu, pada bagian menimbang butir c disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.

Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam pasal-pasal  Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti telah terjadi kontradiksi internal, karena  mengingkari pernyataan dalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.

Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 ayat (1) dan  Pasal 10 ayat (1).

Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupun ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama.

Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute resolution).

Dari hasil kajian perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki karakteristik dan kelemahan substansial seperti berikut:

  1. Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara.
  2. Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat lokal.
  3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada Negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik.
  4. Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
  5. Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenai perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka dilakukan upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi konvensi PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih bercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari diberlakukannya undang-undang seperti berikut:

  1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
  2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
  3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, dan
  4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :

  1. Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state-based resource management).
  2. Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah.
  3. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang belum diakui secara utuh.
  4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.
  5. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
  6. Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum diatur secara tegas.

Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka-ragaman Hayati, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.

Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam

Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam, kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui Ketetapan MPR RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharap memberikan arah yang dimaksud.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).

Pend.korupsi-rudi

Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan[1]. Terlepas dari aspek tersebut diatas pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada ruang lingkup lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Secara terminologi Sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penagggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem[2] Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli hukum dalam “criminal justice system”di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan lembaga penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari peningkatan kriminalitas di Amerika Serikat  pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam konteks penegakan hukum dikenal dengan istilah “law enforcement”. Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektivitas dan efesiensi kerja organisasi kepolisian.

Frank remington adalah orang pertama di Amerika Serikt yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (System Approach) dan gagasan mengenai sistem ini teradapat pada laporan pilot proyek tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh “The President’s Crime Commision” . Dalam kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, Criminal Justice sebagai disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “Law Enforcement” atau “Police Studies”. Perkembangan sistem ini di amerika serikat dan dibeberapa negara eropa menjadi model yang dominan dengan menitikberatkan pada “The Administration Of Justice” serta memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum.[3]

Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.[4] Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukan oleh Romli tersebut, sistem tersebut mempunyai ciri-ciri:

  1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan).
  2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana
  3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara
  4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The Administration Of Justice

Berbeda dengan pendapatnya Romli Atmasasmita, Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap SPP adalah: sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarkatan terpidana. Berkaitan dengan definisi tersebut, Mardjono mengemukaan tujuan dari sistem peradilan pidana, adalah:[5]

  1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
  3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu yang dikenal dengan istilah Integrated Crimnal Justice System.

Hagan membedakan pengetian antara “Criminal Justice Proces” dan “Criminal Justice System”. Criminal Justice Proces adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana baginya. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antara setiap keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.[6]

Samuel Walker menegaskan, bahwa paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang berwenang dalam suatu kerangka interelasi antar aparatur penegak hukum. Lebih jauh samuel mengemukakan bahwa, pendekatan ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah membentuk upaya pembaharuan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun Amerika Serikat. Upaya ini antara lain:[7]

  1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan
  2. Mengembangkan kordinasi antara berbagai komponen peradilan pidana
  3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur penegak hukum.

Muladi menegaskan bahwa makna “Integrated Criminal Justice System” adalah singkronisasi atau kesempatan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:[8]

  1. Sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah keserampakan dan keselerasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegakan hukum.
  2. Sinkronisasi substansi (substantial syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
  3. Sinkronisasi kultural (cultural sycronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sistem peradilan pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan hukum. Jadi pada hakikatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”, karena “kekuasaan kehakiman “ pada dasarnya merupakan “kekuasaan/ kewenangan menegakkan hukum” [9]. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sistem peradilan (atau sistem penegakan hukum, untuk selanjutnya disingkat SPH) dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai  sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen “substansi hukum” (legal substance), “struktur hukum” (legal structure), dan “budaya hukum” (legal culture).[10] Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan hukum/ terkait erat dengan tiga komponen itu, yaitu peraturan perundang-undangan, struktur atau lembaga penegak hukum, dan budaya hukum.

Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Pada prinsipnya aparat penegak hukum tersebut memilki hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (crimal justice process) yang dimulai dari proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan, dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri .dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

Kelima lembaga penegak hukum dalam peradilan pidana diakui eksitensinya guna menegakkan hukum dan keadilan. Konkretnya, kelima lembaga inilah yang menjalankan fungsi hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) dengan bekerjanya kelima aspek sebagaimana konteks diatas maka diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku tindak pidana, korban, Negara, dan bangsa Indonesia.

[1] Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritik Dan Praktik Peradilan, (Bandung, Mandar Maju: 2007). Hlm. 35.

[2] Ibid,  Hlm. 38.

[3] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), Hlm. 33.

[4] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Op.cit., Hlm.14.

[5] Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato pengukuhan penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Indonesia, dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perpesktif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Ibid.

[6] Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep Komponen, Dan Pelaksanaannnya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Op.cit., Hlm. 36.

[7] Ibid

[8] Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Citrabaru, 1994), Hlm. 30.

[9] Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan Pidana (Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia), (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2011). Hlm. 2-3.

[10] Ibid, Hlm.2.

Makna Perlindungan Konsumen

 Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK telah memberikan cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Definisi Konsumen

Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. ada juga yang mengartikan ” setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).

Az Nasution didalam bukunya memberikan batasan tentang konsumen pada umumnya adalah : “setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu”.  Konsumen masih dibedakan lagi antara konsumen dengan konsumen akhir. Menurutnya yang dimaksud dengan konsumen antara adalah : “Setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk dipergunakan dengan tujuan membuat barang dan jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdaganggkan.

Definisi Pelaku Usaha

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian apa yang dimaksud dengan pelaku usaha, seperti tercantum dalam Pasal 1 ayat 3, Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sedangkan didalam penjelasannya yang termasuk pelaku usaha, UUPK menyebut perusahaan, korporasi, BUMN, koprasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam undang-undang ini luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir.

Asas Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas perlindungan konsumen yaitu:

1. Asas Manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya

 2. Asas Keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UUPK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas Keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian Hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kenyamanan, dan keselamtan konsumen.
  7. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999, yakni:

Pasal 4

Hak konsumen adalah :

  1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban Konsumen diatur dalam Pasal 5, yakni:

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah :

  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6:

Hak pelaku usaha adalah :

  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Pasal 7:

Kewajiban pelaku usaha adalah :

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Oleh Pelaku Usaha

Selain terdapat hak dan kewajiban dalam hal perlindungan terhadap perlindungan konsumen, sebagai seorang pelaku usaha, telah ditetapkan tentang perbuatan yang dilarang dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut;

  1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
  2. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  4. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  5. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
  6. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  8. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
  9. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
  10. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
  11. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  12. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  13. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Penyelesaian Sengketa

Dalam hal perlindungan konsumen apabila terjadi suatu sengketa, dalam UUPK telah diatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Pasal 45. Dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:

  1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
  3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
  4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak.

  Badan Penyelesaian Sengketa konsumen (BPSK)

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:

Pasal 52

  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
  2. mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  3. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  4. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  5. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
  6. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  7. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  8. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  9. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
  10. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  11. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
  12. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
  13. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  14. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Model Aternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelessaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

1. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam  UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black’s Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah :

Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject.

Dari rumusan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.

Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

2.Negosiasi:

Negosiasi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa secara kompromi (kooperatif antar pihak) dengan tujuan pemecahan masalah bersama. Alternative penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:

  1. negosiasi memberi peluang yang sangat luas bagi para pihak untuk menentukan pilihan-pilihannya
  2. Tidak bergantung pada norma hukum tertulis
  3. Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk bisa menang secara bersama-sama.
  4. semua pihak memperoleh kesempatan untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam proses negosiasi.

Sedangkan yang menjadi kelemahan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga negosiasi ini, yakni diantaranya adalah:

  1. Tidak ada kepercayaaan antara para pihak yang bersengketa dalam menyelesaiakan suatu sengketa tertentu.
  2. Dalam negosiasi seringkali yang terjadi adalah tidak ada satu upaya pun untuk mencoba saling mendengarkan kehendak dan keinginan masing-masing pihak yang sedang pihak.
  3. Mediasi:

 

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan konflik atau sengketa di mana pihak luar atau pihak ketiga  yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa atau konflik untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:

  1. Keputusan yang hemat
  2. Penyelesaian secara cepat
  3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak
  4. Kesepakatan yang komprehensif
  5. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan
  6. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada proses mediasi terletak pada kekuatan eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai dengan cara suka rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang suka rela pula. Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para pihak yang benar-benar secara suka rela menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan demikian, mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama proses mediasi pun tetap secara suka rela harus diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

3.Konsoliasi

UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30  Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untukuntuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.

4. Arbitrase

Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini adalah diantaranya, yaitu:

  1. Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
  2. Dapat dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan kerena hal procedural dan administratif
  3. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tampat penyelenggaraan arbitrase.

Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui Lembaga arbitrase ini adalah bahwa lembaga arbitrase tidak memilikii kekuatan  eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.

Berbagai Kelamahan Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki beberapa kelemahan substansial, yakni diantaranya adalah:

1.Nama perundang-undangan

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak mengatur tentang lembaga arbitrase, sedangkan untuk alternative penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli) tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak mencerminkan isi dari Undang-undang ini. Sehingga kedepannya pembentuk Undang-undang lebih memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai dengan substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa yang akan datang.

2.Syarat pengangkatan arbiter

Persyaratan Arbriter diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa:

  • Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
  1. Cakap melakukan tindakan hukum;
  2. Berumur paling rendah 35 tahun;
  3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
  4. Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
  5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 5 Tahun.
  • Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.

Dalam kaitannya dengan syarat-syarat untuk menjadi arbiter sebagaimana diatur pada Pasal 12 (e) tidak ada ratio logisnya penentuan 15 tahun pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya. Ada tiga persoalan disini, yakni: pertama ,penentuan 15 tahun dihitung dari mana dan apakah 15 tahun itu berlangsung secara terus menerus? Kedua, siapa yang berkompeten dalam menilai adanya pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya tersebut? Ketiga, apakah semata-mata berdasarkan penilaian atau harus dibuktikan melalui sertifikasi keahlian yang diterbitkan oleh asosiasi profesi atau lembaga yang kompetensi?

Seharusnya kriteria semacam itu lebih rinci sehingga memberikan kepastian hukum sebagaimana dapat dilihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang tersebut telah mengatur secara rinci mengenai persyaratan menjadi advokat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tersebut.

3.Pengaturan Mediasi

Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Namun, ayat selanjutnya, yakni ayat (4), menyatakan apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator?

4.Hak ingkar

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hak ingkar diatur dalam Pasal  22 sampai dengan Pasal 26.  Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Permasalahan berkaitan dengan hak ingkar pada dasarnya adalah bahwa Hak ingkar bisa dijadikan sebagai sarana bagi pihak yang beritikad buruk untuk menunda putusan. Dengan demikian, seyogyanya peluang hak ingkar ini dipersempit dengan menegaskan bahwa hak ingkar dapat dilakukan jika memang sudah terbukti bahwa arbiriter berada dalam posisi yang tidak  netral.

5.Arbitrase On-line

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa belum ada ketentuan yang mengatur arbitrase on-line. Hal ini menjadi permasalahan karena pada saat ini perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik  (e-commerce)  mengalami perkembangan yang pesat. Dalam hal ini kedepannya perlu diatur mekanisme arbitrase on-line antara lain dengan memanfaatkan teknologi teleconference atau videoconference.

PENDAHULUAN

Apakah yang terpikir di kepala kita saat pertama kali mendengar kata “adil”. Jawabannya bisa bermacam-macam, tergantung siapa yang menjawabnya. Seorang pakar ekonomi akan menafsirkan kata adil berbeda dengan seorang ahli psikologi misalnya. Seorang ahli ekonomi saat menafsirkan kata adil mungkin akan berorientasi pada suatu keadilan secara materi. Berbeda dengan seorang ahli psikologi yang memaknai arti dari suatu keadilan tentunya akan sangat bergantung kepada bagaimana setiap individu tersebut merasakan keadilan dalam dirinya.

Lalu apa pengertian adil itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil dapat diartikan sama berat, atau tidak memihak. Dapat juga diartikan tidak sewenang-wenang, atau berpegang pada yang benar. Apabila dipersempit kepada arah hukum, maka keadilan tersebut bisa disebut justice. Dalam hubungannya dengan keputusan hakim, keadilan dapat berarti berpihak kepada yang benar atau berpegang pada kebenaran. Mendefinisikan adil sendiri sesungguhnya akan memakan waktu yang sangat panjang, karena adil itu, seperti yang telah disebut sebelumnya, sangat tergantung kepada siapa yang menerjemahkannya. Penulis sendiri dalam menerjemahkan kata adil, memiliki pandangannya sendiri, adil adalah proporsional, atau dengan kata lain sesuai dengan tempatnya, sesuai dengan wadahnya. Menurut penulis kata inilah yang paling tepat untuk menjelaskan arti dari kata adil tersebut.

Dalam Ilmu Hukum, adil adalah sesuatu yang hendak dicapai oleh hukum. Tujuan dari hukum adalah suatu keadilan. Walaupun selalu muncul perdebatan dalam aliran positivisme bahwa tujuan hukum sesungguhnya adalah suatu kepastian. Tetapi pada dasarnya seseorang mencari perlindungan kepada hukum adalah untuk mencari keadilan.

Penulis tertarik untuk membahas mengenai teori keadilan ini karena hal tersebut di atas, yakni tujuan hukum adalah keadilan. Keadilan yang bagaimanakah yang hendak dicapai oleh hukum? Apakah keadilan yang berarti sama rata, atau keadilan yang sesuai dengan keadaan sosial, budaya, atau ekonomi dari suatu hal. Karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh di dalam hukum.  Jika kemudian hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, apakah keadilan yang menjadi tujuan akhir hukum dapat ditegakkan dengan benar. Bagaimana teori keadilan yang sesungguhnya dikatakan dapat mengakomodasi hukum dengan benar. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin dibahas oleh penulis hingga memilih teori keadilan untuk dikritisi.

Esensi Teori Keadilan John Rawls

Dalam tulisan ini, yang menjadi bahan pembahasan penulis adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls, seorang profesor di Harvard University yang berasal dari tradisi empirisme Inggris. Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice, beliau mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang keadilan.

Teori keadilan Rawls, sesungguhnya terinspirasi dari hak individu Locke, kontrak sosial Rousseau, dan etika Kant. Seperti yang diketahui bahwa teori hak individu Locke menjelaskan tentang hak dasar dari seorang manusia secara individu adalah hak untuk hidup dan mempertahankan diri. Locke meneliti tentang keadaan masyarakat yang terbelenggu dalam sebuah ekonomi uang. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak dapat bertahan tanpa adanya suatu negara yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pribadi dari seseorang. Dengan demikian, tujuan dari suatu negara adalah untuk tetap menjamin keutuhan hak milik pribadi yang semakin lama semakin besar. Bukan untuk mengontrol pertumbuhan hak milik pribadi.

Kemudian teori kedua yang menginspirasi John Rawls adalah kontrak sosial yang dicetuskan oleh Jean Jacques Rosseau. Rosseau menyatakan bahwa seorang manusia sesungguhnya adalah merdeka, bebas dan memiliki kepentingan individu. Mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang lepas dari kepentingan orang lain, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya mereka juga tidak dapat melepaskan dirinya dari orang lain. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai suatu kesatuan masyarakat. Untuk kemudian menjalani kehidupan bersama di mana terjaminnya hak-hak individu dan juga hak bersama, maka kemudian sekelompok orang itu melakukan sebuah perjanjian bersama yang kemudian disebut sebagai contract sosial, untuk menjamin dan menjaga kepentingan bersama. Dengan kata lain perlu adanya suatu kerjasama antara tiap individu yang berbeda status dan tingkat kebutuhannya untuk menjamin kepentingan dan kelangsungan hidup bersama.

Teori ketiga yang mempengaruhi John Rawls dalam menciptakan teori keadilannya adalah etika Kant yang dicetuskan oleh Immanuel Kant. Kant menyebutkan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi suatu etika, yakni otonomy, categorial imperative dan rasionality. Otonomy adalah kehendak pribadi yang keluar secara spontan, tanpa dipengaruhi oleh ketentuan hukum, adat istiadat, perasaan pribadi, maupun sopan santun. Imperial kategori yang disebutkan oleh Kant berarti sebuah perintah atau kewajiban tanpa syarat. Atau dengan kata lain suatu perintah yang harus dijalankan oleh seseorang karena memang seseorang tersebut merasa harus melakukannya, bukan karena dipaksa. Jelasnya dalam etika Kant, yang dimaksud etis adalah melakukan kehendak baik tanpa pembatasan karen semata-mata ingin memenuhi kewajiban.

Dengan berdasar pada ketiga teori di atas, John Rawls dalam teori keadilannya ingin mempertahankan hak individu milik Locke, kemauan hidup bersama demi kepentingan bersama milik Rosseau, dan kemauan untuk berbuat baik tanpa paksaan seperti yang diajarkan oleh Kant.

Berdasar pada kerangka teori di atas maka Rawls menyimpulkan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau individu yang mau bersatu karena adanya suatu kepentingan bersama yang kemudian diwujudkan dalam suatu ikatan, tetapi sesungguhnya tiap individu itu tetap mempunyai pembawaan serta hak yang berbeda dan semua itu tidak dapat begitu saja dilebur dalam suatu kehidupan sosial. Hal yang kemudian dipertanyakan oleh Rawls adalah bagaimana mempertemukan setiap hak dan kemauan individu tersebut  secara selaras hingga tidak ada yang terugikan atau terabaikan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Rawls tentang keadilan. Lebih tepatnya hubungan sosial yang berkeadilan.  Dari sinilah kemudian Rawls mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip keadilan seperti yang dicetuskannya

Menurut Rawls, keadilan adalah suatu kejujuran. Agar supaya hubungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilaksanakan, maka hubungan tersebut harus berjalan seperti dua prinsip yang telah dirumuskan. Pertama adalah prinsip bahwa setiap orang memilik kebebasan yang sama, kebebasan tersebut antara lain adalah kebebasan politik, kebebasan berpikir, kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, kebebasan personal, dan kebebasan untuk memiliki kekayaan. Prinsip yang kedua adalah prinsip ketidaksamaan, dalam arti, bahwa ketidaksamaan yang ada dalam manusia haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut dapat sama-sama menguntungkan, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung, dan melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang. Arti dari prinsip ini adalah Rawls tidak mengharuskan semua orang berkedudukan sama, tetapi bagaimana caranya agar ketidaksamaan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan saling menguntungkan dan membutuhkan di antara mereka.

 Kemudian, keadilan seperti apakah yang sesungguhnya diinginkan oleh Rawls. Menurut Rawls, manusia sesungguhnya memiliki dua sifat, yakni cinta pada kepentingannya sendiri dan juga rasional. Cinta pada kepentingan sendiri berarti bahwa sesungguhnya manusia itu akan melakukan sesuatu berdasar pada kepentingannya, entah itu kepentingan ekonomi, keluarga, agama ataupun negara. Yang kedua adalah rasional, yang dimaksud rasional di sini adalah bahwa mereka sadar dan tahu pasti tentang kepentingannya dan konsekuensi apa yang bisa didapatkan , selain itu manusia juga tidak mau menerima suatu pendapat begitu saja tanpa adanya dasar atau fakta yang jelas, ini membuat manusia selalu ingin tahu dan mencari kebenaran.

Permasalahannya adalah bagaimana orang mau menerima prinsip keadilan yang disebut fairness ini apabila mereka sesungguhnya memiliki sifat cinta kepentingan dan juga rasional. Menurut Rawls, untuk menerima suatu prinsip keadilan maka setiap orang harus diposisikan pada pada situasi yang sama, baik dalam kekuatan maupun kemampuan. Bagaimana caranya? Setiap individu harus diasumsikan sebagai orang yang sama-sama tidak tahu kedudukannya, status sosial dalam masyarakat , distribusi kekayaan, bahkan tidak boleh tahu kemampuan alamiah yang ada dalam dirinya, bakat alami, kecenderungan psikologis, dan sebagainya, yang kemudian disebut John Rawls sebagai “tabir ketidaktahuan”. Yang harus diketahui hanyalah cita-cita untuk ambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip keadilan sebagai fairness. Dengan apa yang dikemukakan oleh Rawls tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap manusia akan berangkat dari pengetahuan yang sama, yakni sebuah pengetahuan tentang ketidaktahuan. Hal ini menjadikan seseorang tidak akan berusaha untuk mendapatkan sesuatu lebih dari apa yang memang sebaiknya didapatkan dan telah diatur. Apabila kemudian seseorang itu beruntung dan memiliki lebih dari apa yang seharusnya didapatkan, prinsip kedua tentang ketidaksamaan berlaku. Yakni orang yang beruntung tersebut harus membantu orang yang tidak beruntung.

Teori keadilan yang disampaikan oleh John Rawls ini sebenarnya adalah sebuah gagasan tentang keadilan yang baru, yang mana berdasarkan pada fairness tetapi teori Rawls ini sendiri bukan berarti seluruhnya baik dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

 Jika melihat kembali, John Rawls menyebutkan ciri khas manusia dalam dua hal, yakni cinta pada kepentingannya sendiri dan juga rasional. Seperti yang juga telah disebutkan sebelumnya, yang diamksud dengan rasional di sini adalah mereka selalu ingin tahu dan mencari tahu tentang segala hal yang terjadi, tentang segala kebenaran dan fakta-fakta yang ada, pada intinya manusia sadar betul akan keberadaannya.

Namun di lain sisi, John Rawls justru mengungkapkan mengenai keadilan yang hanya dapat dicapai dengan cara membuat masyarakatnya tidak tahu apa-apa. Padahal Rawls sendiri telah mengungkapkan dengan jelas, bahwa manusia adalah rasional, selalu berusaha mencari keadilan. Jika kemudian teori mengenai tabir ketidaktahuan Rwls diberlakukan, maka sesungguhnya hal tersebut menentang dan menyalahi apa yang telah ditulis sendiri oleh Rawls. Di satu sisi, Rawls mengakui bahwa manusia selalu rasional dan mencari kebenaran, tetapi di sisi lain lagi, rawls justru menyebutkan bahwa dengan membuat manusia atau masyakat tidak tahu mengenai siapa dirinya, potensinya, dan kekuatannya, secara otomatis Rawls telah menyanggah pendapatnya sendiri mengenai manusia sebagai makhluk yang rasional.

Di sinilah letak salah satu kelemahan dari teori keadilan Rawls. Pendapat Rawls mengenai ciri khas manusia justru sesungguhnya tidak cocok dengan teorinya mengenai tabir ketidaktahuan.

Hal ini juga diungkapkan oleh Robert Paul Wolff yang merupakan seorang ahli filsafat. Apa yang diungkapkan oleh Rawls sesungguhnya tidak dapat diterima oleh nalar filsafat ilmu pengetahuan. Robert Paul Wolff mengungkapkan bahwa dari segi teknis apa yang dikatakan oleh Rawls tidak masuk akal. Bagaimana mungkin masyarakat yang diasumsikan rasional, yang harus tahu benar tentang kepentingan dirinya, kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat tapi tidak boleh tahu tentang dirinya sendiri. Kritikan ini ditulis oleh Robert Paul Wolff dalam bukunya yang berjudul Understanding Rawls, A reconstruction and critic of A theory of justice. Wolff bahkan secara ekstrim mengungkapkan bahwa dengan tabir ketidaktahuan, berarti membuat seseorang tidak tahu tujuan hidupnya bahkan jenis kelaminnya sendiri.

Selain itu, sesungguhnya keadilan seperti apakah yang diinginkan oleh Rawls, apakah dengan membuat tabir ketidaktahuan dan membuat semua orang tidak mengerti tentang dirinya, keadilan itu benar-benar dapat tercapai. Sesungguhnya apa yang disebut dengan keadilan tersebut. Seperti yang telah diungkap pada bagian pendahuluan, keadilan itu relatif, tergantung pada siapa yang mengartikan dan menggunakannya. Tetapi pada intinya, keadilan itu selalu berakhir pada maslah baik dan buruk. Adil berarti hasil dari suatu perbuatan itu baik, tidak adil jika hasil dari suatu perbuatan itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Jika kita melihat lagi apa yang ditulis oleh John Rawls, sesungguhnya yang dimaksud adil olehnya tidaklah bermuara pada baik dan buruk melainkan bersumber pada apa yang disebut kebebasan. Hal ini terbukti dari cara Rawls mengungkapkan tabir ketidaktahuan. Hal tersebut bukan untuk membuat suatu keadilan dalam masyarakat, melainkan justru untuk mengekan masyarakat itu sendiri, yang mana pada intinya membatasi kebebasan masyarakat. Kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kebebasan yang berlebihan, melainkan kebebasan untuk mendapatkan informasi, kebebasan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan manusia untuk bertahan hidup, dan juga kebebasan untuk melakukan komunikasi dengan dunia luar.

 Dalam salah satu asas pemerintahan, terdapat suatu aturan bahwa seorang warga negara berhak untuk mengetahui apa yang terjadi dengan negaranya, keadaan sekitarnya dan keadaan dirinya sendiri. Justru dengan membuat masyarakat tidak mengerti akan keadaan dirinya atau negaranya adalah sesuatu yang salah. Telah disebutkan bahwa Rawls juga mengakui tiap manusia memiliki kepentingan individu, maka untuk memenuhi kepentingan individu tersebut tentu saja masyarakat berhak tau tentang apa yang sesungguhnya menjadi kepentingannya dan mana yang bukan kepentingannya.

Rawls juga menyetujui teori Rosseau tentang kontrak sosial dan harus saling menghormati antara satu dengan yang lainnya supaya tidak terjadi bentrokan. Rawls juga mencetuskan prinsip ketidaksamaan di mana orang yang tidak beruntung harus mendapat bantuan dari yang lebih beruntung. Bagaimana masyarakat mengerti bahwa dirinya harus membantu orang yang tidak beruntung jika dirinya dibuat tidak mengetahui apapun. Ini merupakan salah satu kelemahan teori tabir ketidaktahuan yang dicetuskan oleh Rawls.

Hal lain yang kurang dari teori rawls adalah kecenderungan Rawls untuk membicarakan mengenai distribusi kekayaan. Sama dengan yang telah disebutkan sebelumnya, rawls juga mnyebutkan tentang prinsip ketidaksamaan, di mana setiap orang yang jauh lebih beruntung secara ekonomi, maka diwajibkan untuk membantu orang yang kurang beruntung. Di sini jelas bahwa Rawls juga melihat keadilan “miliknya” berdasar pada faktor ekonomi atau kekayaan belaka.

Pernyataan di atas didukung oleh Wallance Matson. Dia melihat keadilan Rawls lebih banyak berorientasi pada kebebasan dan juga lebih banyak berbicara mengenai distribusi kekayaan.

Yang terakhir yang kurang tepat dari bahasan Rawls adalah, dia menyebutkan bahwa keluarga adalah lembaga paling utama yang paling tepat untuk mengajarkan keadilan. Pernyataan ini tidak salah, tetapi harus dijelaskan lebih lanjut, keluarga seperti apa yang dimaksudkan di sini. Jika keluarga tersebut adalah keluarga harmonis yang memang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebaikan, tentunya tidak menjadi masalah. Tetapi bagaimana jika kemudian keluarga tersebut adalah sebuah keluarga yang terbiasa hidup dengan tradisi yang keras, di mana kekerasan adalah hal biasa dalam suatu keluarga. Dalam keluarga yang seperti ini, keadilan sulit sekali untuk diajarkan. Pernyataan mengenai keluarga tersebut adalah sebuah kritikan terhadap Rawls, di mana dia sebaiknya juga melihat aspek-aspek empiris yang terjadi di masyarakat. Tidak hanya mengeluarkan teori-teori atau kesimpulan belaka.

KESIMPULAN

Lagi-lagi menyinggung tentang makna keadilan seperti yang telah disebutkan dalam pembukaan dan bagian akhir analisis. Apabila ingin memaknai keadilan dengan seragam sesungguhnya adalah hal yang hampir tidak mungkin. Seperti John rawls misalnya. Dia mencoba mengartikan keadilan menurut versinya, yakni keadilan yang dekat dengan kebebasan. Tapi justru keadilan jenis ini sulit sekali untuk diaplikasikan dengan benar pada kehidupan masyarakat. Selain itu seharusnya keadilan bersinggungan dengn baik dan buruk, namun Rawls justru membuat pengertian bahwa keadilan bersinggungan dengan kebebasan.

Apa yang dikemukakan Rawls tidak salah, hanya caranya memaknai keadilan itu yang berbeda daripada apa yang dimengerti banyak orang tentang keadilan. Teori mengenai tabir ketidaktahuan juga sesungguhnya kurang tepat jika disebut cara untuk menegakkan keadilan. Hal ini lebih tepat jika disebut pembatasan gerak terhadap masyarakat mengenai apa yang seharusnya justru diketahui oleh setiap individu.

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Ghofur Anshori. 2006. Filsafat Hukum, Sejarah Aliran dan Pemaknaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Rawls John. A theory of Justice. Electronic book

http://www.scribd.com/doc/21206290/Teori-Keadilan-John-Rawls

http://en.wikipedia.org/wiki/A_Theory_of_Justice